Jumat, 13 Agustus 2010

Pandanglah Corybas atau Dunia akan Berakhir!


Di antara kanopi hutan yang rapat, sinar yang lepas dari celah-celahnya dimanfaaatkan oleh semak dan hewan. Kadal (Mabuia sp.) biasa berjemur untuk menghangatkan tubuhnya yang dipengaruhi lingkungan. Dan tumbuhan dasar seperti ganggang, lumut, paku, Araceae, anggrek, Nephentes dan anakan pohon, menyerap sisa-sisa matahari.

Hei, betulkah ini sekuntum anggrek? Pertanyaan yang sama akan muncul di benak Anda jika berjumpa Corybas, salah satu genus anggrek yang hidup di bawah teduhnya hutan. Bunga liar seukuran 1,5 cm ini termasuk bagian dari vegetasi dasar tanah yang mempunyai kelembaban tinggi. Di pelukan rimbun hutan sudah terbentuk iklim mikro dengan kelembaban, pH , suhu dan tekanan tersendiri yang menjanjikan kehidupannya.

Corybas adalah tumbuhan yang termasuk Spermatophyta nan eksotis. Ia berukuran kecil, dan uniknya hanya mempunyai satu daun. Daun berwarna hijau itu bersama batangnya mengandung kadar air yang cukup tinggi. Persebarannya di Asia Tenggara. Dan bila musim bunga tiba, muncullah satu bunga mungil merah yang indah bagaikan istana peri, lengkap dengan perhiasan pendukungnya. Ukuran bunga Corybas hampir menyamai ukuran seluruh bagian tubuhnya. Lagi-lagi, hanya ada satu bunga.

Kenapa bunga yang tergolong suku Orchidaceae ini tak setenar Amorphophallus titanum dan Rafflesia Arnoldi yang masing-masing adalah bunga tertinggi dan terbesar di dunia? Padahal bunga anggrek Corybas juga punya keistimewaan. Sejauh ini, dialah satu-satunya tumbuhan yang hidup dengan satu daun dalam satu siklus hidupnya.

J.B Comber dalam bukunya, Orchids of Sumatera (2001), menuliskan bahwa di Sumatera telah ditemukan 3 jenis Corybas. Bandingkan dengan di Jawa yang hanya terdapat dua jenis. Bila dilakukan penelitian lebih lanjut, temuan di Sumatera itu diduga kuat akan bertambah. Dalam hukum ekologi, semakin tinggi biodiversitas suatu tempat, semakin mantap dan stabil tempat itu. Kita boleh bangga karena dalam lingkup ekologi dunia, biodiversitas Indonesia adalah yang paling tinggi setelah Brasil. Negara-negara industri jelas harus iri dalam hal ini.

Surat di bata” (ayat Tuhan), demikian sebutan Suku Karo untuk Macodes sp, salah satu jenis ”orchid” setempat. Tidak jauh berbeda, Corybas juga seperti punya tulisan ”Tuhan” di permukaan daunnya. Konon, pertulangan daun yang unik dan terlihat jelas di kedua jenis anggrek ini adalah suatu ”ayat”. Dan di tengah masyarakat Karo, kedua tumbuhan ini termasuk bagian dari sekitar 120 tumbuhan obat liar.

Saya sangat bahagia menemukan dan mengabadikan Corybas di sekitar Taman Eden 100, Tobasa, Sumut. Meski ditemukan dalam rangka Praktikum Lapangan Biologi FMIPA USU, bunga ini bukanlah objek utama kami. Tapi dalam perjalanan, saya selalu ketinggalan di belakang karena terlalu penasaran dengan keindahan bunganya. Saya makin jauh di belakang kawan-kawan lain karena asyik memindahkan daun mati yang hampir menutupi separuh tubuh bunga-bunga tersebut. Ini memang pertama kali saya melihat Corybas.

Dalam satu pandangan jarak pendek, saya bisa menemukan 4 sampai 6 Corybas. Termasuk populasi yang padat dalam jenis yang sama! Ke mana dua jenis lain yang dikatakan Comber? Saya harus menemukannya. Ini adalah ”kampung”-ku sendiri, bukan kampung Comber! Saya harus lebih mengetahui apa yang ada di sini ketimbang dia.

Bunga yang masuk dalam posisi apendiks II dalam CITES (Convention on International Trade of Endangered Spesies) ini menyatu dengan tumbuhan dan hewan lain di dalam hutan. Mereka ”duduk bersama” untuk melakukan fungsi utamanya. Di atas permukaan tanah yang ditutupi serasah daun, sebenarnya ada sekelompok hewan dan tumbuhan yang menyokong kehidupan dunia. Mereka adalah jasad-jasad yang tak begitu dikenal dari golongan hewan dan tumbuhan, baik itu berukuran mikroskopis sampai makroskopis. Dari dasar tanah, akan terlihat serangga, larva kumbang, lalat, Corybas, jamur, cacing, kadal, katak, Nephentes, dan mikroorganisme yang tak terlihat dengan mata telanjang. Makhluk-makhluk hidup mikro itu tergabung dalam kesatuan agen pendegradasi. Tanpa mereka, dunia akan penuh dengan tumpukan material sampah.

Di era kanker global warning ini, suhu yang semakin tinggi sangat mempengaruhi kehidupan mereka. Metabolismenya akan terganggu. Dan jika kelompok dekomposer ini tak bisa lagi menjalankan fungsinya di bawah iklim mikro, ini pertanda buruk! Dunia akan berakhir.


Teks dan foto oleh Akhmad Junaedi Siregar (Mahasiswa Biologi USU), sumber Majalah Inside Sumatera