Selasa, 28 September 2010

Penanganan Telur Tuntong Laut (Batagur borneoensis)


Penetasan telur merupakan salah satu simpul siklus hidup bagi satwa bertelur (ovipar). Penetasan memberi harapan awal untuk hidup bagi hewan. Telur kelompok aves tergolong aman karena dierami induknya. Kelas yang lebih primitif di bawahnya yakni reptil, amfibi dan ikan lebih tinggi ancamannya dari predator alami. Umumnya satwa-satwa tersebut menyiasati predator dengan bertelur dalam jumlah banyak dan bertelur pada satu musim tertentu yang hampir sama dengan prinsip pemutusan hama dalam pertanian.


Salah satu hewan bertelur yang miskin informasi adalah tuntong laut (Batagur borneoensis). Distribusi kura-kura besar ini juga tidak banyak diketahui. Peta distribusi tuntong laut ciptaan John B. Iverson yang dimuat dalam website Asia Turtle Conservation Network (ATCN) tahun 2006 sangat membantu memberi gambaran penyebaran tuntong di Asia Tenggara. Munawar Kholis, Giyanto dan saya sendiri telah melakukan survei ke berbagai muara besar di bagian timur Sumatera (Sumatera Utara dan Riau) untuk mengetahui penyebaran tuntong. Survei ini dibantu oleh Turtle Conservation Fund (TCF) dan Turtle Survival Alliance (TSA), yakni dua lembaga donor yang concern untuk konservasi dan penelitian jenis-jenis kura-kura selain penyu. Kami bertiga dari Wildlife Conservation Society–Indonesia Program akhirnya berjumpa kura-kura yang dicari pada bulan Nopember 2009 yang lalu. Survei yang dilakukan mencatat musim bertelur tuntong laut berawal bulan November hingga Pebruari.


Populasi tuntong laut menurun drastis 15 tahun terakhir menurut kuisioner yang dijalankan untuk masyarakat nelayan yang berdomisili di muara sungai. Empat bulan survei sarang tuntong yang kami lakukan di Pulau Jaring Halus hanya menghasilkan empat sarang yang terselamatkan dari sedikitnya terdapat 22 sarang yang tercatat. Ancaman kerusakan telur tuntong laut sangat tinggi baik dari predator alami (babi dan biawak) maupun pencari telur. Umumnya di setiap muara besar ada puluhan pencari telur tuntong yang sudah mengetahui seluk-beluk peneluran berupa ilmu mencari telur yang turun temurun dari nenek moyang mereka. Mereka tahu persis musim migrasi tuntong ke muara untuk bertelur, hubungan waktu bertelur dengan pasang surut air laut, serta posisi bulan bahkan mereka mempunyai keahlian menampung telur dengan tangan tanpa tuntong merasa terganggu. Kepiawaian mereka menjadi ancaman serius populasi tuntong di masa depan.


Kami berkesempatan menginkubasi empat sarang dengan jumlah telur 67 butir. Ke-67 butir telur itu kami pindahkan ke penetasan semi alami di tengah-tengah desa dengan membuat timbunan pasir buatan. Kami mencoba sealami mungkin seperti alam bebas. Semua telur dari empat sarang masing-masing dipisah per sarang lalu ditanam ke dalam pasir sedalam 20–31 cm sesuai kedalaman telur alami yang sebelumnya diukur pada proses pemindahan. Jumlah telur masing-masing sarang adalah 19, 15, 18 dan 15 butir dari berbagai tanggal peneluran yang berbeda-beda pula.


Hal yang perlu dijaga adalah suhu dan kelembaman penetasan (hatchery). Disarankan tetap menjaga suhu (27–32) ºC dalam pengukuran kedalaman 25 cm. Telur tidak akan berkembang baik jika kekurangan suhu atau penetasan buatan yang terlindung dari sumber cahaya alami. Di beting (tumpukan pasir) tempat tuntong menanam telurnya, sinar matahari umumnya penuh menyinari pasir sepanjang hari. Permukaan pasir pada siang hari sendiri dapat mencapai 44 ºC di mana pada saat itu kami tidak sanggup berjalan di atas pasir jika lepas alas kaki.


Pemindahan telur perlu kehati-hatian yang tinggi. Letak telur yang diperoleh dari alam harus diperhatikan. Posisi letak telur disarankan dipertahankan tentunya tidak memindahkan telur berubah posisi letak dari posisi awal, sekali bagian telur di bawah maka selanjutnya bagian itulah di bawah untuk menjaga kesempurnaan perkembangan telur.


Dalam perkembangannya, warna telur tuntong laut mengalami perubahan. Saat ditelurkan, warna putih kekuningan. Kemudian warna putih bersih mulai muncul dari bagian tengah telur lalu memutih ke semua bagian sejalan usianya dan terakhir berwarna putih kehitaman menjelang usia tetasan. Begitu juga dengan berat telur, semakin hari semakin ringan dan berat tukik yang menetas lebih kurang tinggal setengah berat dari telur awal.


Menjelang usia penetasan (2,5–3 bulan) sebaiknya penetasan dijaga jika penetasan dalam kandang tertutup di mana tukik tidak bisa keluar. Tukik ditakutkan terkena dehidrasi lalu mati jika tidak segera dibantu. Pembuatan kolam kecil di sudut kandang penetasan dianggap penting untuk menghindari kemungkinan yang tidak diinginkan. Peletakan kolam dapat dibuat dari ember berisi air tawar agar tukik dapat bertahan beberapa jam. Air tawar merupakan media alaminya karena tuntong laut hidup di air tawar dan bermigrasi ke air asin hanya pada musim bertelur. Namun penetasan semi alami juga dapat dimodifikasi bergantung metodologi yang dikembangkan.


Dalam penantian yang cukup lama, kami akhirnya dikejutkan dengan kehadiran tukik perdana yang menetas pada pagi hari dari sarang kedua. Sebanyak 43 tukik menetas dari 67 telur inkubasi. Persentase keberhasilannya adalah 64,17 %. Persen keberhasilan keempat sarang bervariasi, secara berurutan masing-masing adalah 73,68 %, 100 %, 61,11 % dan 20 %. Sedangkan umur inkubasi masing-masing sarang secara berurutan selama 87, 82, 85 dan 83 hari.


Terlihat nyata ada perbedaan persen penetasan masing-masing sarang maupun lama inkubasinya berbeda-beda. Kami menyimpulkan bahwa penyinaran merupakan kunci penting dalam inkubasi. Menetas 100% adalah sarang yang letaknya paling banyak mendapatkan sengatan matahari, sedangkan sarang yang 20% keberhasilan merupakan sarang yang paling sedikit disinari matahari langsung. Tidak baik jika penetasan yang dibangun dilindungi dari penghalang sinar matahari.


Tukik bisa saja menderita cacat bentuk karapas dan plastron. Cangkang ini akan mengikuti pola telur tuntong. Pemindahan telur secara gegabah dapat merubah bentuk telur karena telur tuntong memiliki pembungkus telur yang tidak kaku seperti telur ayam. Kotak khusus pemindahan telur terlebih dahulu disiapkan, diisi pasir secukupnya lalu dipangku untuk mengurangi goncangan jika naik kendaraan seperti boat dan mobil. Bentuk tukik yang tidak sempurna dapat mengurangi daya survive di alam. Tukik ini lebih labil bermobilitas seperti tidak bisa menjaga keseimbangan sewaktu berjalan atau kurang maksimal melaju pada saat berenang. Dikhawatirkan tukik akan sulit mendapatkan makanan maupun menghindari predator.


Sehari setelah telur menetas, tukik-tukik segera kami lepaskan, mengingat tukik harus berenang ke hulu sungai mencari air tawar sebagai habitatnya, tentunya setelah mengukur morfometri yang dianggap penting. Dalam merintis cara peneluran tuntong laut, penanganan yang kami lakukan diusahakan sealami mungkin. Karena kami percaya bahwa alam itu sudah memiliki kaidahnya sendiri yang sudah tertata rapi oleh alam.


Akhmad Junaedi Siregar

Foto WCS – IP

Anggota Tim Survei Batagur borneoensis WCS - IP dan Anggota BIOPALAS Dept Biologi FMIPA USU

Sudah Pernah dimuat di Warta Herpetofauna (edisi 2010)