Jumat, 30 Juli 2010

Huia sumatrana, Sang Pengembara Sumatera



Sudah umum untuk ranah amfibi bahwa endemisitas sangat dekat dengan makhluk yang hidup di dua alam tersebut. Dunia ini sangat kaya dengan barrier (penghalang) alam, sehingga banyak terjadi isolasi kehidupan. Penghalang itu bisa berupa sungai, gunung-gunung, selat, danau, padang, dan lainnya. Di Pulau Sumatera, hal-hal semacam itu lebih banyak lagi, sehingga endemisitas satwa menjadi tinggi. Kelompok amfibi adalah vertebrata paling malang dirundung isolasi, karena mobilitasnya tidak sekaliber kuda yang bisa berlari kencang, atau sekelas burung migran yang dapat membelah dunia utara-selatan.

Katak-katak contohnya. Kelompok ini hanya bisa melompat pendek, bahkan sebagian “mengesot” karena memang tak kuasa melompat. Dilengkapi dengan ekologi kulit tipis, satwa berkaki empat ini tidak bisa hidup di daerah miskin kelembaban dan mereka bertoleransi rendah terhadap lingkungan. Semua itu berujung ke peluang endemisitas.

Tipologi alam Sumatera memang potensial merancang keanekaragaman, termasuk mendisain keanekaragaman suku manusia. Di Tanah Batak, isolasi alam merancang suku Batak menjadi lima sub-etnik yang berbeda. Bahkan kelima sub-etnik tersebut tidak bisa berinteraksi lagi dengan nyaman menggunakan Bahasa Batak menurut dialek masing-masing. Sudah seperti dua orang berkomunikasi, yang satu berbahasa Jepang satu lagi bahasa Arab. Tak saling mengerti.

Di balik isolasi, ada kekayaan. Paradoks, bahwa kemudahan telekomunikasi justru memicu mundurnya keanekaraman budaya dan bahasa. Problema ini sudah semakin terasa dewasa ini. Untungnya masih ada segelintir orang yang menjadi pahlawan di dalam suku masing-masing. Tapi kita harus bicara katak lagi.
Kongkang jeram sumatera, demikian nama resmi katak yang juga dikenal dengan Sumatran torrent frog ini. Ia adalah sejenis katak unik. Kongkang jeram sumatera merupakan satu jenis dari empat jenis marga Huia yang ada di planet biru. Sedangkan marga Huia merupakan satu dari tujuh marga suku Ranidae di Indonesia. Kelompok Ranidae dikenal sebagai katak sesungguhnya, yakni katak sejati yang melengkapi pengertian katak secara hakiki. Di Pulau Sumatera, kelompok Ranidae diwakili tiga marga, yakni Huia, Meristogenys dan Rana. Mereka menggantungkan hidup di sela-sela hutan tropis Sumatera yang masih tersisa.

Bersifat vagrant, yakni tersebar secara acak, tapi selalu terikat dengan aliran air berarus deras berhutan, jernih dan berbatu, adalah ciri dari katak berkaki sangat ramping ini. Ia juga mempunyai larva yang dinilai aneh untuk ukuran katak-katak karena dapat hidup di air berarus tinggi. Puncak breeding-nya saat bulan purnama. Sifat mengembaranya makin meningkat pada saat itu. Jantan selalu lebih sering ditemukan dari betina. Ukuran morfologi jantan jauh lebih kecil dari betina. Si jantan kadang-kadang didapati menjadi mangsa laba-laba kecil, sebuah jaring-jaring makanan yang mungkin dianggap terbalik.

Pakar-pakar herpetologi sudah mengetahui persebarannya meliputi daerah Nanggroe Aceh Darussalam, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Jambi, Sumatera Selatan, Bengkulu dan Lampung. Katak ini tak bisa menyeberangi lautan ke Borneo, Peninsular, Jawa dan Maldive, karena barrier berkesumateraan.

Nah, Pulau Sumatera kaya bukan? Banyak yang bertanya, ”Apa untungnya makhluk yang tak menguntungkan itu hidup di hutan atau tetap survive di bumi ini? Sebagai top evolution, manusia sebagai primata paling cerdas dan bertindak sebagai pengambil keputusan, harusnya bisa menjawab pertanyaan ini dengan mudah.


Akhmad Junaedi Siregar, Tim Turtle Project, Wildlife Conservation Society –Indonesia Program (juned_sir@yahoo.com)
, sumber insidesumatera.com