Katak-katak contohnya. Kelompok ini hanya bisa melompat pendek, bahkan sebagian “mengesot” karena memang tak kuasa melompat. Dilengkapi dengan ekologi kulit tipis, satwa berkaki empat ini tidak bisa hidup di daerah miskin kelembaban dan mereka bertoleransi rendah terhadap lingkungan. Semua itu berujung ke peluang endemisitas.
Di balik isolasi, ada kekayaan. Paradoks, bahwa kemudahan telekomunikasi justru memicu mundurnya keanekaraman budaya dan bahasa. Problema ini sudah semakin terasa dewasa ini. Untungnya masih ada segelintir orang yang menjadi pahlawan di dalam suku masing-masing. Tapi kita harus bicara katak lagi.Kongkang jeram sumatera, demikian nama resmi katak yang juga dikenal dengan Sumatran torrent frog ini. Ia adalah sejenis katak unik. Kongkang jeram sumatera merupakan satu jenis dari empat jenis marga Huia yang ada di planet biru. Sedangkan marga Huia merupakan satu dari tujuh marga suku Ranidae di Indonesia. Kelompok Ranidae dikenal sebagai katak sesungguhnya, yakni katak sejati yang melengkapi pengertian katak secara hakiki. Di Pulau Sumatera, kelompok Ranidae diwakili tiga marga, yakni Huia, Meristogenys dan Rana. Mereka menggantungkan hidup di sela-sela hutan tropis Sumatera yang masih tersisa.
Bersifat vagrant, yakni tersebar secara acak, tapi selalu terikat dengan aliran air berarus deras berhutan, jernih dan berbatu, adalah ciri dari katak berkaki sangat ramping ini. Ia juga mempunyai larva yang dinilai aneh untuk ukuran katak-katak karena dapat hidup di air berarus tinggi. Puncak breeding-nya saat bulan purnama. Sifat mengembaranya makin meningkat pada saat itu. Jantan selalu lebih sering ditemukan dari betina. Ukuran morfologi jantan jauh lebih kecil dari betina. Si jantan kadang-kadang didapati menjadi mangsa laba-laba kecil, sebuah jaring-jaring makanan yang mungkin dianggap terbalik.
Nah, Pulau Sumatera kaya bukan? Banyak yang bertanya, ”Apa untungnya makhluk yang tak menguntungkan itu hidup di hutan atau tetap survive di bumi ini? Sebagai top evolution, manusia sebagai primata paling cerdas dan bertindak sebagai pengambil keputusan, harusnya bisa menjawab pertanyaan ini dengan mudah.
Akhmad Junaedi Siregar, Tim Turtle Project, Wildlife Conservation Society –Indonesia Program (juned_sir@yahoo.com), sumber insidesumatera.com