Minggu, 24 Oktober 2010

Telur-telur si Jangkung di Garis Pasang Surut



Baru saja matahari mengintip di horison, semangatku sudah menggelora. Selamat datang World Migratory Bird Day (WMBD)! Pagi ini, 15 Mei 2010, kami terbangun lebih cepat dari biasanya. Ribuan birder sudah ber-leak peak di lebih 40 negara yang telah terdaftar melakukan pengamatan burung migran dunia dalam momen WMBD yang jatuh tanggal 8-9 Mei 2010.


Hasri Abdillah dari Sumatra Rainforest Institute (SRI) tetap saja suka dengan pengamatan burung. Sedangkan Incai, Desi dan aku dari Biologi Pecinta Alam dan Studi Lingkungan Hidup (Biopalas) FMIPA USU, tak mau ketinggalan. Tahun 2010 baru saja dinobatkan sebagai The International Year of Biodiversity (IYB), melengkapi keinginan kami untuk tidak pernah absen mengambil suatu langkah pembaruan data unggas penjelajah di Sumatera Utara.


Dunia khawatir, telah terdata 30 jenis burung migran yang tergolong sangat kritis (critically endangered) di antara 192 jenis burung yang masuk daftar. Pulau Sumatera, salah satu jalur penting penerbangan (fly way) selalu menjadi perhatian, sekaligus menjadi sentra pembicaraan di milis-milis perburungan (ornitologi) nasional. Kali ini kami hanya memfokuskan diri mengintip keberadaan satu jenis burung perancah berbulu hitam putih. Hal ini berawal pada tahun 2008 kemarin, ketika catatan temuan baru burung itu kami dapatkan di pesisir Percut Sei Tuan, Sumatera Utara. Namanya gagang bayam!


Tidak mau kehilangan momen, kami memperketat peralatan pengamatan burung (birding). Untungnya kami dapat pinjaman monokuler dari Wetlands International (WI). Selain itu, jauh-jauh hari kami sudah memasukkan teropong (binokuler), global positioning system (GPS), serta kamera poket dan DSLR, dalam daftar bawaan. Tidak ketinggalan ‘’buku alkitab’’ perburungan Indonesia karangan MacKinnon dan topi lapangan yang dianggap sepele tapi sangat berguna di lapangan.


Stilt, demikian bahasa Inggerisnya, burung target kami kali ini. Unggas ini merupakan salah satu satwa berparuh yang menjadi favorit tiap pengamatan burung pantai (shorebird). Sangat jangkung, kaki berwarna merah, dan memiliki paruh jarum, membuat identifikasi untuk jenisnya biasanya tidak melesat. Di antara status burung-burung pantai lainnya yang biasa terlihat di pesisir Sumatera, burung yang satu ini tampak menyolok dari sifat perancahnya. Perancah sejati, kakinya tipis namun panjang, yang siap menyokong tubuh rampingnya, diikuti paruh jarum yang siap menyelidiki invertebrata kecil di rawa-rawa tempat mencari makan. Pemburu burung bakalan tidak memasukkan jenis ini ke daftar pencariannya karena dagingnya tidak ekonomis dalam takaran timbangan.


Daftar jenis gagang bayam di Sumatera masih diperdebatkan para ahli hingga saat ini. Hanya ada tujuh jenis dari keluarga gagang bayam (Recurvirostridae) di dunia. Asia memiliki dua jenis di antaranya. Dan Sumatera sendiri beruntung dapat mengakomodir dua jenis itu, walaupun kedua jenis tersebut masih hangat dideskripsikan. Keduanya adalah gagang bayam belang (Himantopus himantopus) dan gagang bayam timur (Himantopus leucocephalus). Sebagian ahli menganggap gagang bayam di Sumatera adalah jenis yang berbeda, tapi tidak sedikit yang mengatakan bahwa gagang bayam timur adalah ras dari gagang bayam belang.


Fenomena Migrasi Burung

Fenomena penjelajahan satwa tidak habis-habisnya dibicarakan. Gagang bayam sendiri dikategorikan sebagai burung pantai migran (migratory shorebird). Dalam buku Panduan Studi Burung Pantai saduran Yus Rusila Noor dijelaskan bahwa sebagian gagang bayam termasuk migran namun sebagian justru tidak. Bergantung persebarannya. Gagang bayam yang hidup di belahan bumi utara akan rutin melakukan migrasi merespon tekanan alam di sana.


Penjelahan yang amat melelahkan serta penuh tantangan itu mesti dilakukan burung karena dua alasan yang terkenal. Pertama, migrasi dilakukan untuk menjawab tekanan kondisi lingkungan yang tidak bersahabat. Kedua, migrasi dijadikan sebagai siklus hidup untuk memanfaatkan situasi alam yang berbeda.


Penerbangan bukanlah sesederhana yang mungkin kita pahami dalam dunia burung. Navigasi penerbangan burung sudah dibekali keahlian tertentu. Hasil penelitian menunjukkan, beberapa panduan yang bisa dibaca burung adalah tanda-tanda alam seperti pola-pola gunung ataupun peta sungai-sungai, letak matahari, letak bintang, serta magnet bumi. Tanda-tanda alam tersebut seterusnya menetapkan jalur terbang (fly way) yang sudah bisa dipelajari oleh manusia. Maka dikenallah dua jalur terbang di Asia, yakni jalur terbang bagian timur Asia/Australasia dan jalur terbang Indo-Asia. Beberapa jenis burung penjelajah sering melakukan penjelajahan di luar jalur, kemudian jenis-jenis itu dinamakan saja vagran.


Dari penerbangan itu, diketahui juga beberapa jarak yang bisa ditempuh burung, di antaranya migrasi jarak pendek di mana jarak tempuhnya adalah 50-100 km dan migrasi jarak jauh mencapai lebih dari 6.000 km. Catatan terbaru menunjukkan bahwa burung camar artik masih menjadi penjelajah terjauh yang dapat melewati 18.000 km. Ini tidak bisa terlepas dari kepiawaian mereka mengefisiensi energi. Sebelum take off mereka sebelumnya telah menambah berat tubuh lebih dari dua kali lipat dari berat awal. Seterusnya, camar artik akan membakar berat tubuhnya sebanyak 0,5% untuk menyelesaikan penerbangan tiap jamnya.


Telur Gagang Bayam

Kami mungkin telah mengidap sindrom birding yang cukup akut. Diawali dengan penemuan 10 sarang gagang bayam di pesisir Percut Sei Tuan, Sumatera Utara, yang kami anggap fenomenal, kegiatan ini menjadi semacam obsesi. Telur-telur itu terasa mengundang kami untuk kembali setiap minggunya. Kemudian itulah yang kami lakukan, berputar-putar di koordinat N 03º42’02.8”, E 098º49’25.6”, mirip elang tikus yang mengumpulkan makanan untuk anaknya.


Catatan berbiak burung pantai migran seperti gagang bayam bakal tidak akan dilewatkan pengamat burung, terlebih di Sumatera. Perilaku berbiak itu mempengaruhi status migrasi. Jika ada burung migran yang berbiak di Indonesia, otomatis status migrasinya akan dicabut jika catatan itu bisa membuktikannya secara ilmiah. Pengertian migrasi dalam konteks perburungan diartikan sebagai burung yang melakukan perpindahan antara dua lokasi di mana salah satu lokasi adalah tempat melakukan reproduksi. Umumnya reproduksi dilakukan di belahan bumi utara. Akankah catatan kami ini akan mengubah predikat gagang bayam sebagai pemigran?


Telur-telur itu cukup unik. Dari bentuknya saja, mereka sudah menyimpang dari bulat telur pada umumnya. Di bagian vegetatif, telurnya menyudut tajam. Hal lain yang cukup menarik adalah, areal bersarangnya berada di rawa kecil di mana ketinggian sarang hampir sama dengan permukaan air. Telur loreng itu diletakkan pada media sarang setengah basah. Sarangnya dibuat dari rumput rawa dari keluarga Graminae, disusun rapi oleh si empuya menjadi tumpukan rumput yang kemudian membentuk sarang terbuka. Bertelur secara terang-terangan di alam selalu mengundang gairah predator alam. Tapi tenang saja, kami merasa yakin terhadap keamanan telur-telurnya setelah sekawanan induk gagang bayam mengusir seekor elang yang terlihat menjadi seekor pecundang.


Catatan kami, telur dalam satu sarang hanya 2–5 butir. Jumlah itu memenuhi standar dalam ukuran reproduksi sebuah kelas yang maju. Cangkangnya juga relatif kaku yang berarti juga sudah maju secara evolusioner. Telur dijaga induknya semasa inkubasi sehingga menjamin keamanannya. Kami yakin akan me-record tiap perkembangan mulai dari fase telur sampai akhirnya si anak akan mulai terbang meninggalkan sarang.


Tapi di akhir pemantauan, kami dilanda dilema. Pasang perdani, yakni pasang air laut tertinggi yang terjadi sekali tiap tahunnya, merusak arah kesimpulan kami. Semua sarang nyaris terendam. Hanya satu sarang yang selamat, dan itulah satu-satunya alasan yang membuat kami kembali. Telur yang terendam semuanya busuk. Kami jadi bertanya-tanya, mengapa perancah itu kalah dengan fenomena alam? Mungkinkah gagang bayam menginginkan status sebagai penetap atau si jangkung masih dalam tahap pembelajaran, sehingga mereka belum hapal dengan pelajaran pasang surut di Sumatera?


Peluang Hidup

Di lokasi pengamatan kami, peluang berbiak gagang bayam tergolong terancam. Bukan hanya dari predator alami, tetapi juga oleh faktor manusia ditambah gejala alam yang kadang tidak mengenal rasa. Kebetulan lahan bertelur itu merupakan eks tambak perikanan yang bisa saja berubah kebijakan dan pemanfaatan ekonominya. Jika para pengelola mulai mengintensifkan kolamnya, misalnya, maka harapan transfer gen kelompok gagang bayam itu akan gagal pada satu periode.


Sangat diharapkan adanya kebijakan otoritas yang dapat melegakan komunitas pengamat burung dan para aktivis sains. Pengamat burung sudah mencatat beberapa lokasi yang menciptakan nuansa kedamaian antara manusia dan burung. Di Kota Medan, Perumahan Cemara Asri adalah satu-satunya yang mengakomodir sedikitnya tujuh jenis burung air (waterbird) lokal untuk melakukan reproduksi. Lokasi ini sekaligus menjadi objek wisata alam bebas yang menarik. Namun, gagang bayam tidak termasuk dari jenis-jenis yang mendiami habitat itu.


Sedikitnya ada 15 situs persinggahan burung migran yang dianggap penting di Indonesia. Tiga di antaranya ada di Pulau Sumatera. Bukan tidak mungkin, situs khusus akan bertambah jika pengelola kolam tempat berbiak burung gagang bayam mau bermurah hati berdamai dengan “si penerbang”. Maka bertambahlah satu bukti, bahwa burung dan manusia adalah sahabat yang hakiki.


***


Berawal dari peringatan WMBD yang dua hari saja, kami larut ke durasi pengamatan yang lebih lama. Kami melupakan meriahnya pesta sepakbola dunia. Hajatan akbar itu telah membius penggemar si kulit bundar. Sekonyong-konyong saja, telur gagang bayam terlihat seperti bola yang siap ditendang. Seharusnya, dunia perburungan juga bisa menjadi bagian yang dapat mencuri perhatian khalayak ramai. Paling tidak, gagang bayam masih punya supporter fanatik seperti kami yang berpijak di Tanah Sumatera.



Oleh Akhmad Junaedi Siregar

Sudah pernah dimuat di Majalah Inside Sumatera

Senin, 11 Oktober 2010

Dilema Juvenil Elang Bondol Di Jaring Halus



Bukanlah hal asing bagi penduduk Sumatera memelihara burung. Bahkan piara burung sudah membudaya di antara penduduk. Hal ini bisa dilihat kebiasaan masyarakat memelihara burung di samping rumahnya. Untung saja kebanyakan jenis yang dipelihara bukan jenis yang dilindungi undang-undang di antaranya perkutut jawa (Geopelia striata), bentet kelabu (Lanius schach) dan kerak kerbau (Acridoteres javanicus). Sementara itu tidak tertutup kemungkinan jenis-jenis yang dilindungi. Jenis elang paling banyak diminati sebagai unggas piaraan, contohnya di Pulau Jaring Halus, Langkat, Sumatera Utara.


Pulau Jaring Halus berada di timur Pulau Sumatera dan berhadapan langsung dengan Selat Malaka adalah pulau sekaligus satu-satunya desa di bibir sungai Wampu, Suaka Margasatwa Langkat Timur Laut. Di sini hidup berbagai jenis hidupan liar di mana daerah ini dapat digolongkan memiliki avifauna yang kaya. Awal tahun 2010 tercatat 13 individu bangau tongtong (Leptoptilos javanicus) mencari makan di mudflat. Selain keunikan itu, daerah ini diketahui sebagai habitat terbaik kura-kura jenis tuntong laut (Batagur borneoensis) yang masuk dalam kategori critically endangered.


Nah, bagi sebagian penduduk mayoritas bersuku Melayu ini memelihara burung sudahlah menjadi hobi. Elang-elangan merupakan primadona burung piaraan, selain jenis-jenis lain seperti bangau tongtong, cangak abu (Ardea cinerea), cekakak (Halcyon spp) dan pelatuk (Picus spp). Elang bondol (Haliastur indus) adalah jenis paling diincar di antara jenis elang lain. Selain mudah didapatkan, elang merah ini berdaya hidup cukup kuat ketimbang yang lain.


Umumnya penghobi burung di sini mengambil langsung anak elang dari sarangnya. Elang yang dalam bahasa Inggrisnya brahminy kite ini memang sering dijumpai bersarang di antara ranting tajuk mangrove yang tinggi seperti pada pohon api-api (Avicennia spp). Sifat bersarang yang relatif terbuka memungkinkan pencari sarang dengan mudah memantau lokasi berbiak. Jika pun elang masih bertelur, penghobi akan menunggu beberapa saat menunggu anak elang hingga kuat untuk dipiara.


Menurut pengetahuan penduduk di Jaring Halus, elang bondol biasanya memiliki dua anak, kadang-kadang satu anak. Anak elang untuk sementara akan dipiara di dalam rumah. Pakannya relatif mudah diperoleh mengingat sumber mata pencaharian utama penduduk di sini adalah melaut. Ikan-ikan segar diberikan ke anak elang. Pada musim paceklik, tidak jarang anak elang diberi makan kerang-kerang kecil dari jenis salome dan remis. Dalam dunia liar, kemungkinan belum ada catatan elang makan kerang tapi jika sudah memiliki predikat satwa piaraan manusia semua kemungkinan bisa saja terjadi. Karena ini menyangkut penyambungan nyawa.


Pengamatan sederhana yang dilakukan, anak-anak elang piaraan mempunyai resiko terkena keterbelakangan pertumbuhan fisik dan mental. Di samping tubuhnya menjadi kurus, anak elang remaja yang sudah mulai berbulu kemerahan terkadang sulit untuk berdiri. Insting sebagai top predator pun nyaris tidak terlihat. Tatapan mata elangnya menjadi redup ditelan bumi. Masa-masa ini menjadi sulit. Biasanya juvenil elang ini akan mulai mengetahui takdirnya sebagai piaraan dan mencoba bangkit menjadi elang dewasa, tetapi masih dengan status jinak alias burung dalam sangkar.


Bulu putih mulai tumbuh di kepala, tawar-menawar harga pun mulai meningkat. Elang dihargai Rp 100.000,- sampai Rp 300.000,-. Suplay and demand menentukan harga di antara penghobi elang. Seringkali elang ditawar orang dari luar Pulau Jaring Halus, kalau begini, harganya melesit di atas rata-rata.


Klisenya, elang yang berstatus dilindungi nyatanya tidak terlindungi. Ini adalah cerita kecil dari desa kecil. Di luar sana, penghobi elang pasti lebih besar. Penduduk Sumatera mengapresiasi elang dengan sangat tinggi. Hanya saja caranya tidak tepat. Lain halnya dengan raptorian yang mengapresiasi elang dengan birdwatching, birdbanding dan kegiatan positif sejenisnya. Jadi, diharapkan kita semua memperkenalkan asyiknya kegiatan birdwatching ke penghobi. Agar nasib juvenil elang tersejahterakan. Nah, mari birdwatching birder!



Teks dan foto oleh Akhmad Junaedi Siregar

Anggota Tim Turtle Project WCS–IP (Medan)

Sudah pernah dimuat di website Burung Nusantara