Sabtu, 05 November 2011

Dunia Burung di Sumatera Utara Menggeliat

Kapan burung di Sumatera Utara mulai diperhatikan? Jawabannya tidak ada yang tahu persis. Namun ada satu momen penting ketika hadir satu Mapala (Mahasiswa Pecinta Alam) tahun 1998 di kampus Universitas Sumatera Utara (USU). Namanya Biologi Pecinta Alam & Studi Lingkungan Hidup (Biopalas).

Ada beberapa alasan pentingnya Biopalas (disingkat BP) terkait perburungan. Pertama, pecinta alam yang bertempat di Dept Biologi itu pernah dipercaya Wetlands International Indonesia Program (WI-IP) untuk memfasilitasi sebuah sosialisasi tentang burung untuk kawasan Sumatera. Anggota BP berkenalan dengan salah satu pengamat burung air profesional bermarga Batak, Fery Hasudungan yang berdomisili di Jawa. Bang Fery, demikian orang-orang mahasiswa menyapanya kemudian menjadi kawan dekat sekaligus mitra untuk diskusi mengenai burung-burung yang barangkali terekam menjadi foto.

Momen yang paling penting untuk BP adalah sewaktu dipercaya WI-IP untuk mengadakan survey keberadaan mentok rimba (Cairina scutelata) di Kabupaten Dairi. Berlanjut lagi beberapa program seperti Asian Waterbird Cencus tahun 2007 yang penting untuk menghitung jumlah dan jenis burung-burung air di pesisir timur Sumatera Utara, terutama daerah Kecamatan Percut Sei Tuan.

Kontan, pengamatan burung menjadi familiar di kalangan mahasiswa. Birdwatching pun kadang-kadang telah diartikan sebagai hobi. Meskipun pengamatan burung erat kaitannya dengan kewajiban penelitian yang akan bermetamorfosa menjadi skripsi.

Paling menarik adalah berkembangnya sarana komunikasi via internet. Beberapa grup di Facebook dan Twitter atau pun situs yang menampung cerita pengamatan burung cukup berkembang. Hal itu, menunjang semangat penelitian burung. Apa yang kita teliti ternyata menjadi perhatian orang lain. Terlebih kalau seandainya pengamat mendapatkan foto burung yang membawa bendera di kakinya, tentu orang akan berkomentar banyak. ”Wah, kamu hebat!”

Penemuan burung berbendera pun mendapat dukungan oleh dunia sains luar negeri bagi para pengamat burung lokal. LSM ada yang mendapatkan dana kegiatan untuk melakukan survei dalam jangka waktu setahun. Begitu juga dengan peneliti dari USU, telah ada yang memilih burung air sebagai proyek penelitiannya.

Sebegitukah burung-burung di Pesisir timur Sumatera Utara, kita tunggu geliat lainnya.

Oleh Akhmad Junaedi Siregar

Jumat, 04 November 2011

Katak Api (Leptophryne cruentata) Jadi Maskot Satwa Nasional 2011

Satu kabar gembira menyelimuti herpetolog pada tahun 2011, pasalnya tanggal 5 Nopember 2011 mendatang, katak api (Leptophryne cruentata) akan mewakili satwa dalam Hari Cinta Puspa dan Satwa Nasional (HCPSN) 2011. Sementara itu, bunganya diwakili oleh tetepok (Nymphoides indica).

Katak api merupakan salah satu jenis amfibi yang terdapat di Indonesia yang berstatus Critically Endangered (CR) versi IUCN. Status tersebut sama dengan status yang diterima orangutan (Pongo sp) dan harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae). Nama ilmiah katak api diberi nama oleh Tschudi pada tahun 1838.

Pemilihan kedua jenis flora dan fauna tersebut disesuaikan dengan tema untuk tahun 2011 yakni ekosistem perairan tawar flora dan fauna.

Katak api atau amfibi secara umum bisa dijadikan indikator pencemaran lingkungan. Tingkat pencemaran lingkungan pada suatu daerah dapat dipantau dari populasi amfibi yang sensitif tersebut. Semakin banyak amfibi di suatu daerah menandakan semakin bagus pula lingkungan tersebut.

Oleh Akhmad Junaedi Siregar, dari berbagai sumber.

Dendragama boulengeri

Batagur borneoensis

Manouria emys

Hemidactylus frenatus

Gekko monarchus

Gekko gecko

Cyrtodactylus lateralis

Tropidolaemus wagleri

Calotes versicolor

Gonocephalus grandis

Gonocephalus beyschlagi

Pelophryne signata

Rhacophorus cyanopunctatus

Rhacophorus dulitensis

Nyctixalus pictus

Rana chalconota

Rana siberu

Huia sumatrana

Rabu, 02 November 2011

Satwa Identitas Propinsi di Sumatera

Setiap propinsi memiliki fauna identitas tertentu. Pulau Sumatera yang terdiri atas 10 propinsi telah memilih satwa identitasnya masing-masing. Pemilihan tersebut berdasarkan keendemikan di provinsi tertentu, kekhasannya maupun karena komoditi andalan di provinsi tertentu.

1. Nanggroe Aceh Darussalam, ceumpala kuneng (Trichixos pyrropygus)

2. Sumatera Utara, beo nias (Gracula religiosa robusta)

3. Sumatera Barat, kuau raja (Argusianus argus)

4. Riau, serindit melayu (Loriculus galgulus)

5. Kepulauan Riau, ikan kakap merah (Lutjanus sanguineus)

6. Jambi, harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae)

7. Sumatera Selatan, ikan belida (Chitala lopis)

8. Bangka Belitung, mantilin (Tarsius bancanus)

9. Bengkulu, beruang madu (Helarctos malayanus)

10. Lampung, gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus)

Nah, kesepuluh jenis di atas dengan sendirinya memiliki nilai lebih ketimbang jenis fauna yang lain. Masing-masing jenis satwa punya histori dan ekologi penting bagi daerah yang memilihnya.

Disarikan oleh Akhmad Junaedi Siregar dari berbagai sumber.

Kamis, 14 Juli 2011

Mycteria cinerea

Leptoptilos javanicus

Limnonectes blythii

Rana glandulosa

Kaloula pulchra

Bufo juxtasper

Telur-telur Cabak yang Fotogenik



Survei kura-kura di muara sungai besar kadang terlalu membosankan. Frequensi perjumpaannya tergolong sulit menimbulkan kejenuhan. Terlebih hewan berbatok yang diteliti itu adalah tuntong laut (Batagur borneoensis) berpredikat Critically Endangered dan masuk dalam daftar 25 jenis kura-kura yang sangat terancam di dunia.

Mari kita lupakan sejenak satwa tidak bergigi itu. Sebagai salah satu tamatan jurusan biologi di Universitas Sumatera Utara yang sedikit banyak mempelajari hewan, cukup membantu merefresh kejenuhan. Pasalnya, tidak sedikit satwa yang memberikan hiburan di sela-sela survei di bibir muara. Sungguh asyik mempelajari jenis-jenis ikan tangkapan nelayan muara seperti sembilang, kerapu, samgai, tenggiri, belanak, alu-alu, ketang, tengar dan seterusnya. Perihal burung, saya kepincut dengan cara bertelur burung cabak.

Pemilihan lokasi bertelur burung cabak (Caprimulgus sp) sama halnya dengan tuntong laut. Bedanya, tuntong laut mesti menyembunyikan telurnya ke dalam pasir, sedangkan cabak meletakkan telur secara terbuka di permukaan. Telur cabak berwarna pucat loreng menyatu dengan warna pasir atau pun serasah sehingga tidak begitu mengkhawatirkan dari jangkauan predator alaminya. Bagi pesisir timur Pulau Sumatera, khususnya timur Sumatera Utara, sangat jarang menemukan daerah berpasir, kecuali di bibir muara sungai. Endapan sedimen di muara sering kali membentuk delta di sekitar muara, di sinilah surga bertelur bagi burung cabak. Paling tidak itu kesimpulan yang dapat saya tarik di muara Sungai Karang Gading, Desa Kwala Besar, Langkat, Sumatera Utara.

Malam hari di muara begitu menyiksa, nyamuk adalah dalangnya. Lotion antinyamuk tahan 10 jam menurut iklan TV terasa ”bohong-bohongan”. Tidak kurang satu jam nyamuk sudah menggerogoti. Di bawah terang bulan, justru cabak terlihat aktif melakukan aktifitas. Salah satu anggota suku Caprimulgidae itu mungkin merasa kehadiran nyamuk sebagai anugrah kuliner. Mereka bahkan bersahut-sahutan, saya tidak mengerti maksudnya, biarkan mereka meningkatkan aliran pembahasan di forumnya sendiri. Terciptalah pepatah ”burung pungguk merindukan bulan”.

Tidak mempunyai ”mood” istimewa dengan cabak ternyata berujung manis. Awal Pebruari 2011, saya dianugrahi objek fotografi telur oleh burung malam itu. Secara serentak, cabak-cabak betina bertelur di antara Ipomoea prescaprea yang tumbuh di atas pasir. Mereka sedikit mengais pasir membentuk lengkungan kecil sebagai wadah dua butir telurnya. Cukup sesederhana itu membuat sarang, saya sendiri telah menganggap burung ini tidak berestetika yang bagus, tapi salut dengan efektifitas dan teknik pertahanan yang dikembangkannya.

Ada tiga coretan yang menghiasi catatanku tentang wadah sarang cabak. Pertama, secara umum, cabak meletakkan telurnya di atas pasir. Tidak banyak tahu toleransi telur terhadap suhu permukaan pasir. Yang jelas permukaan pasir bisa mencapai suhu 40º C pada siang hari. Kedua, telur diletakkan di atas kayu mati berukuran kecil. Tipe ini jarang dijumpai walaupun sebenarnya dinilai tergolong ideal dalam konsistensi suhu yang hanya didominasi transfer dari induknya. Ketiga, telur cabak diletakkan di atas helai daun. Pernah sekali saya menemukan telur diletakkan di atas helaian daun waru lembab. Cara terakhir ini cukup mencuri perhatian. Pasang air laut ternyata bisa menjangkau sarang, sehingga jika terjadi pasang air hari bulan 14-19, telur akan terendam air. Sayangnya, saya tidak memiliki catatan lengkap perihal ini. Karena memang lebih fokus ke telur kura-kura.

Saat ini saya meninggalkan telur itu di pantai. Induk-induk betina masih setia mengerami telurnya hingga menetas nanti. Kemungkinan satu bulan ke depan, telur akan memekarkan juvenil baru. Di dalam hati, saya berjanji mengunjungi beting (tumpukan pasir) tempat menelur. Tidak lengkap rasanya sekedar mendokumentasi telur. Mendapatkan foto anak cabak yang lucu rasanya lebih real melengkapi dahaga ilmu.■

Oleh Akhmad Junaedi Siregar*

Foto. Akhmad Junaedi Siregar (WCS IP)

* Relawan WCS IP tentang Penelitian Tuntong Laut (Batagur borneoensis) di Sumatera Utara.

Jumat, 10 Juni 2011

MENILIK JAMAN PURBA BERSAMA Gonocephalus beyschlagi

Andai saja reptil-reptil purba bisa melewati jaman kapur, mungkin manusia tidak bisa bicara banyak. Manusia akan menjadi mangsa bagi para dinosaurus yang telah berkuasa pada pertengahan masa mesozoikum. Reptil sempat menguasai bumi selama berjuta-juta tahun. Sebuah kisah panjang reptil dimulai pada jaman perem ketika kotilosauria, reptil cikal bakal hadir ke dunia melalui proses evolusi. Film Jurasic Park sepertinya sedikit menggambarkan bagaimana buasnya kehidupan jaman purba kala. Cerita kerajaan dinosaurus sangat menarik walau harus kalah dengan alam di akhir jaman kapur. Seleksi alam Darwin menutup relung-relung kehidupan bagi reptil-reptil purba.

Sejarah kekuasaan reptil sudah usai. Tinggallah empat bangsa yang masih tersisa yakni tuatara, squamata, kura-kura dan bajul (buaya). Keempat bangsa ini hampir berprototip liar dan buas. Hidup sporadis mulai dari dasar laut hingga tajuk pohon tertinggi. Bagaimana dengan peninggalan-peninggalan reptil di Sumatera?

Terlalu luas untuk menjawabnya. Jawabannya biasanya ada pada orang-orang bule. Salah satu bunglon endemik sumatera adalah Gonocephalus beyschlagi. Jenis ini diturunkan dari bangsa bengkarung dan telah diketahui tersebar di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam yakni di Ulu Masen dan Krueng Masen sedangkan di Propinsi Sumatera Utara dijumpai di Bohorok - Bukit Lawang, Cagar Alam Sibolangit, Dataran Tinggi Batak, Sikundur dan Tualang Karang (Mistar).

Salah satu yang paling menarik dari Gonocephalus beyschlagi adanya surai yang memanjang dari tengkuk hingga pangkal paha. Ciri ini sangat khas pada Gonocephalus beyschlagi jantan sehingga untuk mengenalnya di alam cukup gampang. Sedangkan yang betina tidak mempunyai surai sepanjang dan seindah pejantan. Kemungkinan surai berfungsi untuk menjaga keseimbangan saat berlari kencang atau sebagai aksesoris pemikat lawan jenisnya. Umumnya pejantan lebih besar ukurannya dibanding betina, ukurannya mulai dari 117-126 mm dengan panjang ekor antara 275-285 mm. Dilaporkan menempati elevasi yang beragam mulai dari 50-400 meter dpl.

Jenis ini juga acap ditemukan tidak jauh dari sungai di hutan tropis sebagai penanda pentingnya sungai bagi makhluk hidup. Adalah cara yang paling mudah untuk menjumpainya dengan menelusuri bantaran sungai. Biasanya ditemukan beristirahat pada ranting kecil. Malam hari, salah satu suku Agamidae ini dapat diobservasi sepuasnya, namun siang hari Gonocephalus beyschlagi sangat liar melebihi manak yang sedang diburu suku Yagahi dalam film.

Sebagai hewan yang belum terobservasi secara luas, bunglon ini juga tidak terlalu familiar. Belum pernah dilaporkan dirawat pada kebun binatang di Sumatera. Juga terbilang tidak pernah dipublikasikan secara umum. Mungkin jika ada yang berniat menciptakan proyek taman margasatwa endemik sumatera only, itu pasti keren. Pengunjung akan terbawa ke masa silam yang berkesumateraan.



Teks dan foto oleh Akhmad Junaedi Siregar

Sumber Majalah Inside Sumatera

Senin, 07 Maret 2011

Mengenal Forest Gecko!



Setidaknya selalu ada “bonus” alam tatkala kami ke lapangan. Melaksanakan praktikum menjadi indah dan bersemangat di Hutan Sibayak I, Taman Hutan Raya (Tahura) Bukit Barisan. Akhir oktober yang lalu seperti biasanya studi lapang dilaksanakan selama empat hari.

Bonus datang pada malam hari. Kami, mahasiswa Biologi USU menemukan seekor ular viper si bertaring bisa lipat, burung tidur kedinginan dari jenis barred eagle owl, spiderhunter dan flycatcher, 15 jenis katak dan forest gecko (cicak hutan). Bagi kami bonus-bonus ini adalah bonus paling istimewa. Bonus yang didapat dari perut hutan hujan tropis sumatera.

Terlebih forest gecko yang dikenal dengan marga Cyrtodactylus, kami cukup mengaguminya. Cicak hutan merupakan satu marga dari sekitar 18 jenis cicak hutan yang menggauli kawasan Sunda. Khusus pulau Sumatera, sedikitnya enam jenis cicak hutan telah ter-record. Cicak-cicak itu tersebar luas dan biasanya dijumpai pada akar-akar pohon besar, di tepi batu-batu pinggiran sungai, di atas daun dan bertengger di ranting-ranting yang kemungkinan banyak sumber pakannya.

Kali ini kami berkesempatan mengakrabkan diri dengan forest gecko jenis Cyrtodactylus lateralis. Cicak berkepala gepeng dan besar ini kami jumpai dalam spesimen banyak. Dua ekor kami tangkap untuk dibawa ke laboratorim untuk deskripsi lebih lanjut. Selebihnya dihitung jumlahnya saja dan ajang jepret-jepret dengan objek satwa ber-locality habitat pulau Sumatera itu.

Salah satu jenis dari sembilan marga dari keluarga tokek di Sumatera ini tidaklah sama dengan cicak rumah yang sering dijumpai di dinding-dinding rumah. Cicak hutan memiliki cakar, tidak seperti cicak rumah yang mempunyai semacam selaput penempel ke dinding. Cakar-cakar runcing ini sangat ideal untuk bertengger pada pohon maupun ranting besar. Jenis cicak hutan juga sangat dikenal dengan penglihatan tajam. Tidak jarang cicak ini mengelap matanya dengan menjulurkan lidahnya menyapu membran pelindung.

Sebagian jenis dari cicak hutan belum dideskripsi oleh para ahli. Terlebih di hutan Sumatera karena minimnya penelitian. Deskripsi sangat menentukan identifikasi jenis selanjutnya. Disinyalir masih banyak jenis cicak hutan yang mungkin perlu dideskripsi lebih lanjut.

Kekayaan reptil Indonesia, termasuk Sumatera telah kalah dibanding negara tetangga dalam kongres baru-baru ini. Urutan Indonesia menjadi menurun menjadi posisi ketiga di Kawasan Oriental. Bukan karena memang kekayaannya reptil Indonesia sedikit, namun belum bisa menunjukkan kekayaan itu karena minimnya record reptil. Siapa yang meragukan biodiversitas Sumatera?

Jadi, kami telah me-record salah satu jenis tokek hutan. Langkah kecil yang kami anggap bonus dari perut hutan Sumatera.■

Teks dan foto oleh Akhmad Junaedi Siregar

Sumber Majalah Inside Sumatera.

Jumat, 04 Maret 2011

Sebuah Ramalan Ibis Roko-roko di Sumatera




Kelangkaan akan dipandang berbeda oleh dua subyek. Termasuk langkanya barang tertentu sehingga dianggap antik, kemudian dipandang istimewa. Sesuatunya materi yang sulit didapati akhirnya diminati, bahkan dipuja-puja. Tidak kurang kelangkaan satwa. Bagi orang yang banyak berkecimpung dalam konservasi, kelangkaan satwa dianggap petaka. Tapi bagi hobiis atau pelaku wisata, kelangkaan satwa tertentu menjadi daya pikat dan daya jual penting. Secara hakiki, sesuatu yang melimpah, relatif dihargai murah oleh manusia, mengekori hukum suplay and demand, begitu juga sebaliknya. Uang akan dikontrol peredarannya di masyarakat untuk menjaga nilai tukarnya.

Nah, mari memandang sedikit kekayaan fauna yang kita miliki di Pulau Sumatera. Kelangkaan fauna mungkin akan menjadi pertimbangan di masa depan dan menjadi bagian hidup yang tak terpisahkan. Di alam bebas Sumatera ada sekian jenis fauna yang terbatas keberadaan liarnya. Beberapa di antaranya menjadi primadona sebagai piaraan. Sebagian dilindungi, sehingga hobiis kadang harus merasa harus memiliki walaupun secara tidak sah. Banyaknya satwa langka berbanding lurus dengan jumlah jenis endemik di pulau ini, juga memicu rasa ketertarikan kepada satwa misalnya harimau sumatera (Panhtera tigris sumatrae), gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus), orangutan sumatera (Pongo abelii) dan badak sumatera (Dicecorhinus sumatrensis). Tidak pun dapat satwa hidupnya, bagian-bagian satwa yang mati tidak kalah menarik untuk dikoleksi. Tipe hobiis tadi tentu tidak dianjurkan.

Nah, bagaimana kalau Anda diajak mengagumi kelangkaan satwa tanpa harus memiliki bagiannya sedikit pun, seperti prinsip berwisata berkelanjutan. Mengamati satwa langka di alam bebas tentu tidak semurah berwisata yang sudah dipaketkan dan tinggal pilih. Mengamati satwa liar di alam hampir sama dengan memancing ikan di alam, hasilnya tidak pasti dan tidak terukur. Tentu ini adalah sebuah tantangan yang menarik.

Sebut saja ibis roko-roko (Plegadis falcinellus) adalah daftar jenis burung terlangka di Sumatera. Hingga sekarang, keberadaan unggas ini di Sumatera masih diragukan oleh dunia. Namun tidak di utara Pulau Jawa karena jenis ini hingga sekarang masih sering teramati. Di Pulau Borneo yang notabene-nya di masa silam bergabung dengan Pulau Sumatera, catatan terakhir pakar burung bahwa jenis ini tahun 1851 terpantau sekali di Kalimantan Selatan.

Di Pulau Sumatera, keluarga ibis diketahui ada dua jenis yakni ibis cucuk besi (Threskiornis melanocephalus) dan ibis roko-roko. Sunda Besar diketahui didiami lima jenis ibis. Suku ibis-ibisan (Threskiornithidae) ini lebih mudah dikenali sebagai bangau karena bentuknya sangat mirip bangau-bangauan (Ciconiidae). Hanya saja ibis berukuran lebih kecil dan warnanya lebih gelap hingga hitam sama sekali. Cara makan juga dinilai unik karena untuk mendapatkan mangsa cukup dengan mendeteksi sentuhan ketimbang mengandalkan penglihatan mata.

Sejauh ini, catatan terkini dan pertama untuk jumlah individu ibis roko-roko di Sumatera terhitung sebanyak empat ekor. Belum ada laporan pengamat burung perihal pertemuan di setiap propinsi di pulau ini. Teman-teman dari pecinta alam Biopalas Dept Biologi FMIPA USU dan Sumatra Rainforest Institute beruntung mencatat empat ekor dari dua kali perjumpaan dan dari berpuluh kali pengamatan dalam kurun dua bulan terakhir. Situs penemuan ini masih berasal dari pesisir timur Sumatera, tepatnya di pesisir Percut Sei Tuan, Deli Serdang, Sumatera Utara.

Tidak halnya dengan penduduk di sekitar lokasi tempat ibis roko-roko meluangkan waktu beristirahat. Harus diakui memang, masyarakat umum selalu selangkah di depan daripada pengamat yang sebagian hidupnya mengkhususkan mengamati keanekaragaman makhluk. Sebagian dari mereka cukup mengenal ibis ini dan sebagian lagi bahkan menjadikan tingkah lakunya sebagai indikator meramal cuaca. Konon, jika unggas hitam ini terbang berputar-putar hingga beberapa jam di daerah peristirahatannya, itu pertanda baik bagi petani yakni hujan akan segera turun. Burung air lainnya yang biasanya bersosial dengan ibis roko-roko sepintas tidak se-khas roko-roko. Terlepas dari barometer perubahan cuaca, koloni ibis roko-roko dan sepasukan burung air lainnya justru berkhasiat lain. Salah satu petambak ikan di sana bersedia memberi ruang dua per tiga kolamnya ikannya menjadi tempat peristirahatan burung air. Untungnya, pakan ikan tidak lagi mesti pusing dipikirkan karena kotoran burung menjadi suplai nutrisi lebih dari cukup bagi ikan jenis payau.

Anda pasti puas jika menjumpai ibis berukuran 60 cm itu. Terlebih lagi spesies dilindungi ini tidak ada dikoleksi kebun binatang sepanjang Sumatera. Jadi tidak ada jalan lain kecuali turun ke alam. Menjumpai ibis roko-roko jauh lebih sulit ketimbang harimau sumatera. Kasarnya, sekitar 4 berbanding 400, sesuai jumlah individunya di Sumatera yang diperkirakan pakar saat ini, tentunya dengan perhitungan konservasi (perkiraan paling sedikit). Kalau Anda memahami, nilai perjumpaan Anda setara dengan melihat logam mulia.

Untuk mendokumentasikannya relatif sulit. Di samping langka, dilindungi, pemalu dan terbang kencang, warnanya juga hitam menyulitkan kamera membaca cahaya. Jika pemotretan dilakukan ke objek bergerak itu, paling kuat terbekukan menjadi siluet. Jika Anda mencoba kamera yang biasa dipakai fotografer bola, tentu hasilnya berbeda, itu bergantung Anda! Dan jika Anda segila itu, pengamat burung akan menuliskan kisah Anda dan mungkin akan melegenda di masa depan.


Oleh Akhmad Junaedi Siregar,
foto oleh Chairunas Adha Putra
(Mahasiswa Pengamat Burung)
Sumber: Majalah Inside Sumatera

Rasa Penasaran Terhadap Amfibi itu Potensi!














Tidaklah sama halnya pandangan antara herpetolog dengan masyarakat awam dalam memandang katak. Karena mungkin telah terbiasa, herpetolog dan peneliti katak atau pun penghobi katak tentu sudah terbiasa melihat katak. Mungkin bagi peneliti, penemuan-penemuan baru tentang kataklah yang paling menarik seperti dalam hal record baru atau spesies baru katak. Namun bagi pemula, atau masyarakat awam, berjumpa katak di luar katak-katak umum yang biasa berasosiasi di pemukiman adalah sesuatu yang istimewa.


Satu hal yang tidak bisa dipungkiri adalah anggapan masyarakat bahwa secara umum katak merupakan hewan berkaki empat yang menjijikkan karena tonjolan badannya yang kasar (katak puru) dan kulit licin yang berlendir bagi sebagian katak jenis lain. Anggapan itu memang sangat mendasar. Persepsi itu dibungkus oleh pengetahuan mengenai katak yang terbilang dangkal. Pepatah tak kenal maka tak sayang mungkin sangat relevan dalam hal ini.


Banyak contoh yang mungkin lebih baik, namun saya punya contoh kecil dari Universitas Sumatera Utara (USU), Medan. Semenjak saya duduk di awal perkuliahan semester 2, pengenalan dunia herpetologi (amfibi dan reptil) pertama kalinya ketika diajak untuk survei (praktikum lapangan) ke Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) yang diwajibkan pada mahasiswa jurusan Biologi USU. Layaknya pemula, di pikiran ini kisut anggapan kenapa harus melihat katak?


Awalnya menurut saya, katak itu hanya sebatas jenis Bufo melanostictus atau Fejervarya limnocharis. Ketika mulai memasuki hutan pinggiran TNGL, barulah saya dan rekan lainnya sadar mengapa TNGL dikategorikan sebagai warisan dunia. Di tepian sungai, pada malam yang gelap sekali, senter-senter murah kami, sedikit banyaknya memergoki katak-katak yang lain dari biasanya. Ada katak berwarna seperti tentara, loreng-loreng kurus, puru besar, ada juga jenis sangat liar karena apabila kita membuat suara sedikit saja, kataknya sudah menyelam ke dalam air, tidak sedikit di antara katak yang kami lihat sedang memanjat. Tidak seperti di Jawa yang sangat kami cemburui di Sumatera, buku identifikasi di sana jauh lebih mudah diperoleh. Kami banyak tersandung jika sudah berurusan dengan identifikasi, salah satu bagian proses penelitian yang harus dilalui.


Sebelum buku Panduan Lapangan Amfibi Kawasan Ekosistem terbit karangan Mistar (2003), saya banyak mendengar lelucon senior kami ketika mengidentifikasi katak di lapangan pasalnya buku karangan luar negeri jarang yang cocok dengan jenis-jenis amfibi di Sumatera. Mereka mengidentifikasi tidak berdasarkan buku, justru ilmu turun menurun yang diajarkan senior mereka juga. Waktu itu, katak-katak yang berkulit kasar (puru) dimasukkan ke dalam marga Bufo, katak-katak yang menempel di pohon digolongkan ke marga Rhacophorus, katak bancet yang bersuara keras dimasukkan ke marga Hyla dan katak biasa yang berkulit licin semuanya dikategorikan Rana tanpa terkecuali. Maka genaplah hanya ada empat marga katak di Sumatera yang biasanya mereka temukan. Tentu saja kita semua sepakat bahwa itu keliru.


Di lapangan, frogging kami lakukan tidak kurang seperti berlomba, biasanya kami lebih menyukai jenis yang unik ataupun berukuran besar. Rana hosii betina menjadi hiburan kami, karena ukurannya relatif besar. Menemukan katak bertanduk (Megophrys nasuta) tentu merupakan fenomena di luar dugaan kami. Kamera poket digital 5 megapixel yang termasuk langka pada masa itu digunakan membekukan macam jenis katak ini berulang-ulang. Bagi saya sendiri, album khusus jenis-jenis katak sudah ada kusediakan.


Tidak berselang lama (tahun 2007), salah satu senior kami yang tertarik memutuskan meneliti keanekaragaman amfibi di Suaka Margasatwa Siranggas di Pakpak Bharat, Sumut. Beliau menemukan 17 jenis amfibi dari bangsa Anura dan Apoda. Ichthyophis sp merupakan salah satu jenis yang didapatkan. Penemuan ini selalu diulang-ulang dosen kami saat mengikuti perkuliahan tentang amfibi. Dosen pembimbing ini menyimpan spesimen katak sesilia itu dalam ruangan kerjanya.


Bagi angkatan dua tahun di bawahnya, saya salah satunya, frogging menjadi kegiatan ilmiah yang selalu ditunggu-tunggu. Setiap kegiatan itu diadakan, saya dan teman-teman hampir tidak pernah absen. Dengan peralatan seadanya, jarang yang menggunakan headlamp. Namun setiap jenis penemuan baru selalu kami catat, walaupun sebenarnya standar pengukuran suatu penemuan terhadap katak di lapangan masih jauh dari harapan. Puncak penilaian kami akan keberhasilan frogging terutama jika sudah berjumpa dengan katak pohon (Rhacophoridae), terlebih menemukan sesilia (lindi-lindi). Akhir-akhir tahun 2010 ini, beberapa di antara kami sudah memiliki headlamp masing-masing. Saya sendiri akhirnya kecantol untuk penelitian katak berjudul Jenis dan Komposisi Komunitas Amfibi di Taman Wisata Alam dan Cagar Alam Sibolangit (2009).


Terlepas dari perjalanan itu, saya sendiri melihat rasa keingintahuan yang sangat besar di antara kami terhadap amfibi. Begitu juga dengan masyarakat awam, setiap foto yang kutunjukkan selama perjalanan kami dahulu selalu ditanggapi keheranan. Sebagian besar dari mereka tidak meyakini adanya katak bertanduk, padahal katak tersebut tidaklah jauh habitatnya dari Kota Medan, domisili mereka. Mungkin hal ini karena kecenderungan relung (niche) antara manusia dan katak bertolak belakang di mana manusia hidup siang hari sedangkan katak aktifnya pada malam hari.


Saya sendiri belum pernah melihat keheranan masal terhadap amfibi di Medan selayaknya teman-teman dekat yang kutunjukkan fotonya tadi. Namun, terhadap lima jenis ular viper dan sanca yang dipamerkan Hetts Bio Lestari, satu-satunya penangkaran ular di Medan diserbu pengunjung pameran. Kontan, stan tersebut menjadi stan paling ramai didatangi yang diapresiasi menjadi stan terbaik oleh panitia. Saya melihat bahwa potensi pemanfaatan amfibi sangat besar. Di samping katak yang biasanya dijadikan konsumsi kemungkinan potensi pendidikan dan wisatanya cukup tinggi. Suatu hal positif jika pembuatan penangkaran atau museum herpetofauna di Medan. Mungkin masyarakat akan tinggi mengapresiasinya. Mereka akan datang karena penasaran, setelah itu mereka akan mengenal amfibi. Jika sudah mengenal, mereka pasti akan mencintainya seperti kata pepatah. Mungkin inilah salah satu ekspektasi konservasi.■


Teks dan foto oleh Akhmad Junaedi Siregar

Sumber: Warta Herpetofauna