Senin, 07 Maret 2011

Mengenal Forest Gecko!



Setidaknya selalu ada “bonus” alam tatkala kami ke lapangan. Melaksanakan praktikum menjadi indah dan bersemangat di Hutan Sibayak I, Taman Hutan Raya (Tahura) Bukit Barisan. Akhir oktober yang lalu seperti biasanya studi lapang dilaksanakan selama empat hari.

Bonus datang pada malam hari. Kami, mahasiswa Biologi USU menemukan seekor ular viper si bertaring bisa lipat, burung tidur kedinginan dari jenis barred eagle owl, spiderhunter dan flycatcher, 15 jenis katak dan forest gecko (cicak hutan). Bagi kami bonus-bonus ini adalah bonus paling istimewa. Bonus yang didapat dari perut hutan hujan tropis sumatera.

Terlebih forest gecko yang dikenal dengan marga Cyrtodactylus, kami cukup mengaguminya. Cicak hutan merupakan satu marga dari sekitar 18 jenis cicak hutan yang menggauli kawasan Sunda. Khusus pulau Sumatera, sedikitnya enam jenis cicak hutan telah ter-record. Cicak-cicak itu tersebar luas dan biasanya dijumpai pada akar-akar pohon besar, di tepi batu-batu pinggiran sungai, di atas daun dan bertengger di ranting-ranting yang kemungkinan banyak sumber pakannya.

Kali ini kami berkesempatan mengakrabkan diri dengan forest gecko jenis Cyrtodactylus lateralis. Cicak berkepala gepeng dan besar ini kami jumpai dalam spesimen banyak. Dua ekor kami tangkap untuk dibawa ke laboratorim untuk deskripsi lebih lanjut. Selebihnya dihitung jumlahnya saja dan ajang jepret-jepret dengan objek satwa ber-locality habitat pulau Sumatera itu.

Salah satu jenis dari sembilan marga dari keluarga tokek di Sumatera ini tidaklah sama dengan cicak rumah yang sering dijumpai di dinding-dinding rumah. Cicak hutan memiliki cakar, tidak seperti cicak rumah yang mempunyai semacam selaput penempel ke dinding. Cakar-cakar runcing ini sangat ideal untuk bertengger pada pohon maupun ranting besar. Jenis cicak hutan juga sangat dikenal dengan penglihatan tajam. Tidak jarang cicak ini mengelap matanya dengan menjulurkan lidahnya menyapu membran pelindung.

Sebagian jenis dari cicak hutan belum dideskripsi oleh para ahli. Terlebih di hutan Sumatera karena minimnya penelitian. Deskripsi sangat menentukan identifikasi jenis selanjutnya. Disinyalir masih banyak jenis cicak hutan yang mungkin perlu dideskripsi lebih lanjut.

Kekayaan reptil Indonesia, termasuk Sumatera telah kalah dibanding negara tetangga dalam kongres baru-baru ini. Urutan Indonesia menjadi menurun menjadi posisi ketiga di Kawasan Oriental. Bukan karena memang kekayaannya reptil Indonesia sedikit, namun belum bisa menunjukkan kekayaan itu karena minimnya record reptil. Siapa yang meragukan biodiversitas Sumatera?

Jadi, kami telah me-record salah satu jenis tokek hutan. Langkah kecil yang kami anggap bonus dari perut hutan Sumatera.■

Teks dan foto oleh Akhmad Junaedi Siregar

Sumber Majalah Inside Sumatera.

Jumat, 04 Maret 2011

Sebuah Ramalan Ibis Roko-roko di Sumatera




Kelangkaan akan dipandang berbeda oleh dua subyek. Termasuk langkanya barang tertentu sehingga dianggap antik, kemudian dipandang istimewa. Sesuatunya materi yang sulit didapati akhirnya diminati, bahkan dipuja-puja. Tidak kurang kelangkaan satwa. Bagi orang yang banyak berkecimpung dalam konservasi, kelangkaan satwa dianggap petaka. Tapi bagi hobiis atau pelaku wisata, kelangkaan satwa tertentu menjadi daya pikat dan daya jual penting. Secara hakiki, sesuatu yang melimpah, relatif dihargai murah oleh manusia, mengekori hukum suplay and demand, begitu juga sebaliknya. Uang akan dikontrol peredarannya di masyarakat untuk menjaga nilai tukarnya.

Nah, mari memandang sedikit kekayaan fauna yang kita miliki di Pulau Sumatera. Kelangkaan fauna mungkin akan menjadi pertimbangan di masa depan dan menjadi bagian hidup yang tak terpisahkan. Di alam bebas Sumatera ada sekian jenis fauna yang terbatas keberadaan liarnya. Beberapa di antaranya menjadi primadona sebagai piaraan. Sebagian dilindungi, sehingga hobiis kadang harus merasa harus memiliki walaupun secara tidak sah. Banyaknya satwa langka berbanding lurus dengan jumlah jenis endemik di pulau ini, juga memicu rasa ketertarikan kepada satwa misalnya harimau sumatera (Panhtera tigris sumatrae), gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus), orangutan sumatera (Pongo abelii) dan badak sumatera (Dicecorhinus sumatrensis). Tidak pun dapat satwa hidupnya, bagian-bagian satwa yang mati tidak kalah menarik untuk dikoleksi. Tipe hobiis tadi tentu tidak dianjurkan.

Nah, bagaimana kalau Anda diajak mengagumi kelangkaan satwa tanpa harus memiliki bagiannya sedikit pun, seperti prinsip berwisata berkelanjutan. Mengamati satwa langka di alam bebas tentu tidak semurah berwisata yang sudah dipaketkan dan tinggal pilih. Mengamati satwa liar di alam hampir sama dengan memancing ikan di alam, hasilnya tidak pasti dan tidak terukur. Tentu ini adalah sebuah tantangan yang menarik.

Sebut saja ibis roko-roko (Plegadis falcinellus) adalah daftar jenis burung terlangka di Sumatera. Hingga sekarang, keberadaan unggas ini di Sumatera masih diragukan oleh dunia. Namun tidak di utara Pulau Jawa karena jenis ini hingga sekarang masih sering teramati. Di Pulau Borneo yang notabene-nya di masa silam bergabung dengan Pulau Sumatera, catatan terakhir pakar burung bahwa jenis ini tahun 1851 terpantau sekali di Kalimantan Selatan.

Di Pulau Sumatera, keluarga ibis diketahui ada dua jenis yakni ibis cucuk besi (Threskiornis melanocephalus) dan ibis roko-roko. Sunda Besar diketahui didiami lima jenis ibis. Suku ibis-ibisan (Threskiornithidae) ini lebih mudah dikenali sebagai bangau karena bentuknya sangat mirip bangau-bangauan (Ciconiidae). Hanya saja ibis berukuran lebih kecil dan warnanya lebih gelap hingga hitam sama sekali. Cara makan juga dinilai unik karena untuk mendapatkan mangsa cukup dengan mendeteksi sentuhan ketimbang mengandalkan penglihatan mata.

Sejauh ini, catatan terkini dan pertama untuk jumlah individu ibis roko-roko di Sumatera terhitung sebanyak empat ekor. Belum ada laporan pengamat burung perihal pertemuan di setiap propinsi di pulau ini. Teman-teman dari pecinta alam Biopalas Dept Biologi FMIPA USU dan Sumatra Rainforest Institute beruntung mencatat empat ekor dari dua kali perjumpaan dan dari berpuluh kali pengamatan dalam kurun dua bulan terakhir. Situs penemuan ini masih berasal dari pesisir timur Sumatera, tepatnya di pesisir Percut Sei Tuan, Deli Serdang, Sumatera Utara.

Tidak halnya dengan penduduk di sekitar lokasi tempat ibis roko-roko meluangkan waktu beristirahat. Harus diakui memang, masyarakat umum selalu selangkah di depan daripada pengamat yang sebagian hidupnya mengkhususkan mengamati keanekaragaman makhluk. Sebagian dari mereka cukup mengenal ibis ini dan sebagian lagi bahkan menjadikan tingkah lakunya sebagai indikator meramal cuaca. Konon, jika unggas hitam ini terbang berputar-putar hingga beberapa jam di daerah peristirahatannya, itu pertanda baik bagi petani yakni hujan akan segera turun. Burung air lainnya yang biasanya bersosial dengan ibis roko-roko sepintas tidak se-khas roko-roko. Terlepas dari barometer perubahan cuaca, koloni ibis roko-roko dan sepasukan burung air lainnya justru berkhasiat lain. Salah satu petambak ikan di sana bersedia memberi ruang dua per tiga kolamnya ikannya menjadi tempat peristirahatan burung air. Untungnya, pakan ikan tidak lagi mesti pusing dipikirkan karena kotoran burung menjadi suplai nutrisi lebih dari cukup bagi ikan jenis payau.

Anda pasti puas jika menjumpai ibis berukuran 60 cm itu. Terlebih lagi spesies dilindungi ini tidak ada dikoleksi kebun binatang sepanjang Sumatera. Jadi tidak ada jalan lain kecuali turun ke alam. Menjumpai ibis roko-roko jauh lebih sulit ketimbang harimau sumatera. Kasarnya, sekitar 4 berbanding 400, sesuai jumlah individunya di Sumatera yang diperkirakan pakar saat ini, tentunya dengan perhitungan konservasi (perkiraan paling sedikit). Kalau Anda memahami, nilai perjumpaan Anda setara dengan melihat logam mulia.

Untuk mendokumentasikannya relatif sulit. Di samping langka, dilindungi, pemalu dan terbang kencang, warnanya juga hitam menyulitkan kamera membaca cahaya. Jika pemotretan dilakukan ke objek bergerak itu, paling kuat terbekukan menjadi siluet. Jika Anda mencoba kamera yang biasa dipakai fotografer bola, tentu hasilnya berbeda, itu bergantung Anda! Dan jika Anda segila itu, pengamat burung akan menuliskan kisah Anda dan mungkin akan melegenda di masa depan.


Oleh Akhmad Junaedi Siregar,
foto oleh Chairunas Adha Putra
(Mahasiswa Pengamat Burung)
Sumber: Majalah Inside Sumatera

Rasa Penasaran Terhadap Amfibi itu Potensi!














Tidaklah sama halnya pandangan antara herpetolog dengan masyarakat awam dalam memandang katak. Karena mungkin telah terbiasa, herpetolog dan peneliti katak atau pun penghobi katak tentu sudah terbiasa melihat katak. Mungkin bagi peneliti, penemuan-penemuan baru tentang kataklah yang paling menarik seperti dalam hal record baru atau spesies baru katak. Namun bagi pemula, atau masyarakat awam, berjumpa katak di luar katak-katak umum yang biasa berasosiasi di pemukiman adalah sesuatu yang istimewa.


Satu hal yang tidak bisa dipungkiri adalah anggapan masyarakat bahwa secara umum katak merupakan hewan berkaki empat yang menjijikkan karena tonjolan badannya yang kasar (katak puru) dan kulit licin yang berlendir bagi sebagian katak jenis lain. Anggapan itu memang sangat mendasar. Persepsi itu dibungkus oleh pengetahuan mengenai katak yang terbilang dangkal. Pepatah tak kenal maka tak sayang mungkin sangat relevan dalam hal ini.


Banyak contoh yang mungkin lebih baik, namun saya punya contoh kecil dari Universitas Sumatera Utara (USU), Medan. Semenjak saya duduk di awal perkuliahan semester 2, pengenalan dunia herpetologi (amfibi dan reptil) pertama kalinya ketika diajak untuk survei (praktikum lapangan) ke Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) yang diwajibkan pada mahasiswa jurusan Biologi USU. Layaknya pemula, di pikiran ini kisut anggapan kenapa harus melihat katak?


Awalnya menurut saya, katak itu hanya sebatas jenis Bufo melanostictus atau Fejervarya limnocharis. Ketika mulai memasuki hutan pinggiran TNGL, barulah saya dan rekan lainnya sadar mengapa TNGL dikategorikan sebagai warisan dunia. Di tepian sungai, pada malam yang gelap sekali, senter-senter murah kami, sedikit banyaknya memergoki katak-katak yang lain dari biasanya. Ada katak berwarna seperti tentara, loreng-loreng kurus, puru besar, ada juga jenis sangat liar karena apabila kita membuat suara sedikit saja, kataknya sudah menyelam ke dalam air, tidak sedikit di antara katak yang kami lihat sedang memanjat. Tidak seperti di Jawa yang sangat kami cemburui di Sumatera, buku identifikasi di sana jauh lebih mudah diperoleh. Kami banyak tersandung jika sudah berurusan dengan identifikasi, salah satu bagian proses penelitian yang harus dilalui.


Sebelum buku Panduan Lapangan Amfibi Kawasan Ekosistem terbit karangan Mistar (2003), saya banyak mendengar lelucon senior kami ketika mengidentifikasi katak di lapangan pasalnya buku karangan luar negeri jarang yang cocok dengan jenis-jenis amfibi di Sumatera. Mereka mengidentifikasi tidak berdasarkan buku, justru ilmu turun menurun yang diajarkan senior mereka juga. Waktu itu, katak-katak yang berkulit kasar (puru) dimasukkan ke dalam marga Bufo, katak-katak yang menempel di pohon digolongkan ke marga Rhacophorus, katak bancet yang bersuara keras dimasukkan ke marga Hyla dan katak biasa yang berkulit licin semuanya dikategorikan Rana tanpa terkecuali. Maka genaplah hanya ada empat marga katak di Sumatera yang biasanya mereka temukan. Tentu saja kita semua sepakat bahwa itu keliru.


Di lapangan, frogging kami lakukan tidak kurang seperti berlomba, biasanya kami lebih menyukai jenis yang unik ataupun berukuran besar. Rana hosii betina menjadi hiburan kami, karena ukurannya relatif besar. Menemukan katak bertanduk (Megophrys nasuta) tentu merupakan fenomena di luar dugaan kami. Kamera poket digital 5 megapixel yang termasuk langka pada masa itu digunakan membekukan macam jenis katak ini berulang-ulang. Bagi saya sendiri, album khusus jenis-jenis katak sudah ada kusediakan.


Tidak berselang lama (tahun 2007), salah satu senior kami yang tertarik memutuskan meneliti keanekaragaman amfibi di Suaka Margasatwa Siranggas di Pakpak Bharat, Sumut. Beliau menemukan 17 jenis amfibi dari bangsa Anura dan Apoda. Ichthyophis sp merupakan salah satu jenis yang didapatkan. Penemuan ini selalu diulang-ulang dosen kami saat mengikuti perkuliahan tentang amfibi. Dosen pembimbing ini menyimpan spesimen katak sesilia itu dalam ruangan kerjanya.


Bagi angkatan dua tahun di bawahnya, saya salah satunya, frogging menjadi kegiatan ilmiah yang selalu ditunggu-tunggu. Setiap kegiatan itu diadakan, saya dan teman-teman hampir tidak pernah absen. Dengan peralatan seadanya, jarang yang menggunakan headlamp. Namun setiap jenis penemuan baru selalu kami catat, walaupun sebenarnya standar pengukuran suatu penemuan terhadap katak di lapangan masih jauh dari harapan. Puncak penilaian kami akan keberhasilan frogging terutama jika sudah berjumpa dengan katak pohon (Rhacophoridae), terlebih menemukan sesilia (lindi-lindi). Akhir-akhir tahun 2010 ini, beberapa di antara kami sudah memiliki headlamp masing-masing. Saya sendiri akhirnya kecantol untuk penelitian katak berjudul Jenis dan Komposisi Komunitas Amfibi di Taman Wisata Alam dan Cagar Alam Sibolangit (2009).


Terlepas dari perjalanan itu, saya sendiri melihat rasa keingintahuan yang sangat besar di antara kami terhadap amfibi. Begitu juga dengan masyarakat awam, setiap foto yang kutunjukkan selama perjalanan kami dahulu selalu ditanggapi keheranan. Sebagian besar dari mereka tidak meyakini adanya katak bertanduk, padahal katak tersebut tidaklah jauh habitatnya dari Kota Medan, domisili mereka. Mungkin hal ini karena kecenderungan relung (niche) antara manusia dan katak bertolak belakang di mana manusia hidup siang hari sedangkan katak aktifnya pada malam hari.


Saya sendiri belum pernah melihat keheranan masal terhadap amfibi di Medan selayaknya teman-teman dekat yang kutunjukkan fotonya tadi. Namun, terhadap lima jenis ular viper dan sanca yang dipamerkan Hetts Bio Lestari, satu-satunya penangkaran ular di Medan diserbu pengunjung pameran. Kontan, stan tersebut menjadi stan paling ramai didatangi yang diapresiasi menjadi stan terbaik oleh panitia. Saya melihat bahwa potensi pemanfaatan amfibi sangat besar. Di samping katak yang biasanya dijadikan konsumsi kemungkinan potensi pendidikan dan wisatanya cukup tinggi. Suatu hal positif jika pembuatan penangkaran atau museum herpetofauna di Medan. Mungkin masyarakat akan tinggi mengapresiasinya. Mereka akan datang karena penasaran, setelah itu mereka akan mengenal amfibi. Jika sudah mengenal, mereka pasti akan mencintainya seperti kata pepatah. Mungkin inilah salah satu ekspektasi konservasi.■


Teks dan foto oleh Akhmad Junaedi Siregar

Sumber: Warta Herpetofauna