
Penetasan telur merupakan salah satu simpul siklus hidup bagi satwa bertelur (ovipar). Penetasan memberi harapan awal untuk hidup bagi hewan. Telur kelompok aves tergolong aman karena dierami induknya. Kelas yang lebih primitif di bawahnya yakni reptil, amfibi dan ikan lebih tinggi ancamannya dari predator alami. Umumnya satwa-satwa tersebut menyiasati predator dengan bertelur dalam jumlah banyak dan bertelur pada satu musim tertentu yang hampir sama dengan prinsip pemutusan
Populasi tuntong laut menurun drastis 15 tahun terakhir menurut kuisioner yang dijalankan untuk masyarakat nelayan yang berdomisili di muara sungai. Empat bulan survei sarang tuntong yang kami lakukan di Pulau Jaring Halus hanya menghasilkan empat sarang yang terselamatkan dari sedikitnya terdapat 22 sarang yang tercatat. Ancaman kerusakan telur tuntong laut sangat tinggi baik dari predator alami (babi dan biawak) maupun pencari telur. Umumnya di setiap muara besar ada puluhan pencari telur tuntong yang sudah mengetahui seluk-beluk peneluran berupa ilmu mencari telur yang turun temurun dari nenek moyang mereka. Mereka tahu persis musim migrasi tuntong ke muara untuk bertelur, hubungan waktu bertelur dengan pasang surut air laut, serta posisi bulan bahkan mereka mempunyai keahlian menampung telur dengan tangan tanpa tuntong merasa terganggu. Kepiawaian mereka menjadi ancaman serius populasi tuntong di masa depan.
Kami berkesempatan menginkubasi empat sarang dengan jumlah telur 67 butir. Ke-67 butir telur itu kami pindahkan ke penetasan semi alami di tengah-tengah desa dengan membuat timbunan pasir buatan. Kami mencoba sealami mungkin seperti alam bebas. Semua telur dari empat sarang masing-masing dipisah per sarang lalu ditanam ke dalam pasir sedalam 20–31 cm sesuai kedalaman telur alami yang sebelumnya diukur pada proses pemindahan. Jumlah telur masing-masing sarang adalah 19, 15, 18 dan 15 butir dari berbagai tanggal peneluran yang berbeda-beda pula.
Pemindahan telur perlu kehati-hatian yang tinggi. Letak telur yang diperoleh dari alam harus diperhatikan. Posisi letak telur disarankan dipertahankan tentunya tidak memindahkan telur berubah posisi letak dari posisi awal, sekali bagian telur di bawah maka selanjutnya bagian itulah di bawah untuk menjaga kesempurnaan perkembangan telur.
Dalam perkembangannya, warna telur tuntong laut mengalami perubahan. Saat ditelurkan, warna putih kekuningan. Kemudian warna putih bersih mulai muncul dari bagian tengah telur lalu memutih ke semua bagian sejalan usianya dan terakhir berwarna putih kehitaman menjelang usia tetasan. Begitu juga dengan berat telur, semakin hari semakin ringan dan berat tukik yang menetas lebih kurang tinggal setengah berat dari telur awal.
Menjelang usia penetasan (2,5–3 bulan) sebaiknya penetasan dijaga jika penetasan dalam kandang tertutup di mana tukik tidak bisa keluar. Tukik ditakutkan terkena dehidrasi lalu mati jika tidak segera dibantu. Pembuatan kolam kecil di sudut kandang penetasan dianggap penting untuk menghindari kemungkinan yang tidak diinginkan. Peletakan kolam dapat dibuat dari ember berisi air tawar agar tukik dapat bertahan beberapa jam. Air tawar merupakan media alaminya karena tuntong laut hidup di air tawar dan bermigrasi ke air asin hanya pada musim bertelur. Namun penetasan semi alami juga dapat dimodifikasi bergantung metodologi yang dikembangkan.
Dalam penantian yang cukup lama, kami akhirnya dikejutkan dengan kehadiran tukik perdana yang menetas pada pagi hari dari sarang kedua. Sebanyak 43 tukik menetas dari 67 telur inkubasi. Persentase keberhasilannya adalah 64,17 %. Persen keberhasilan keempat sarang bervariasi, secara berurutan masing-masing adalah 73,68 %, 100 %, 61,11 % dan 20 %. Sedangkan umur inkubasi masing-masing sarang secara berurutan selama 87, 82, 85 dan 83 hari.
Sehari setelah telur menetas, tukik-tukik segera kami lepaskan, mengingat tukik harus berenang ke hulu sungai mencari air tawar sebagai habitatnya, tentunya setelah mengukur morfometri yang dianggap penting. Dalam merintis cara peneluran tuntong laut, penanganan yang kami lakukan diusahakan sealami mungkin. Karena kami percaya bahwa alam itu sudah memiliki kaidahnya sendiri yang sudah tertata rapi oleh alam.
Akhmad Junaedi Siregar
Foto WCS – IP
Anggota Tim Survei Batagur borneoensis WCS - IP dan Anggota BIOPALAS Dept Biologi FMIPA USU
Sudah Pernah dimuat di Warta Herpetofauna (edisi 2010)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar