Minggu, 24 Oktober 2010

Telur-telur si Jangkung di Garis Pasang Surut



Baru saja matahari mengintip di horison, semangatku sudah menggelora. Selamat datang World Migratory Bird Day (WMBD)! Pagi ini, 15 Mei 2010, kami terbangun lebih cepat dari biasanya. Ribuan birder sudah ber-leak peak di lebih 40 negara yang telah terdaftar melakukan pengamatan burung migran dunia dalam momen WMBD yang jatuh tanggal 8-9 Mei 2010.


Hasri Abdillah dari Sumatra Rainforest Institute (SRI) tetap saja suka dengan pengamatan burung. Sedangkan Incai, Desi dan aku dari Biologi Pecinta Alam dan Studi Lingkungan Hidup (Biopalas) FMIPA USU, tak mau ketinggalan. Tahun 2010 baru saja dinobatkan sebagai The International Year of Biodiversity (IYB), melengkapi keinginan kami untuk tidak pernah absen mengambil suatu langkah pembaruan data unggas penjelajah di Sumatera Utara.


Dunia khawatir, telah terdata 30 jenis burung migran yang tergolong sangat kritis (critically endangered) di antara 192 jenis burung yang masuk daftar. Pulau Sumatera, salah satu jalur penting penerbangan (fly way) selalu menjadi perhatian, sekaligus menjadi sentra pembicaraan di milis-milis perburungan (ornitologi) nasional. Kali ini kami hanya memfokuskan diri mengintip keberadaan satu jenis burung perancah berbulu hitam putih. Hal ini berawal pada tahun 2008 kemarin, ketika catatan temuan baru burung itu kami dapatkan di pesisir Percut Sei Tuan, Sumatera Utara. Namanya gagang bayam!


Tidak mau kehilangan momen, kami memperketat peralatan pengamatan burung (birding). Untungnya kami dapat pinjaman monokuler dari Wetlands International (WI). Selain itu, jauh-jauh hari kami sudah memasukkan teropong (binokuler), global positioning system (GPS), serta kamera poket dan DSLR, dalam daftar bawaan. Tidak ketinggalan ‘’buku alkitab’’ perburungan Indonesia karangan MacKinnon dan topi lapangan yang dianggap sepele tapi sangat berguna di lapangan.


Stilt, demikian bahasa Inggerisnya, burung target kami kali ini. Unggas ini merupakan salah satu satwa berparuh yang menjadi favorit tiap pengamatan burung pantai (shorebird). Sangat jangkung, kaki berwarna merah, dan memiliki paruh jarum, membuat identifikasi untuk jenisnya biasanya tidak melesat. Di antara status burung-burung pantai lainnya yang biasa terlihat di pesisir Sumatera, burung yang satu ini tampak menyolok dari sifat perancahnya. Perancah sejati, kakinya tipis namun panjang, yang siap menyokong tubuh rampingnya, diikuti paruh jarum yang siap menyelidiki invertebrata kecil di rawa-rawa tempat mencari makan. Pemburu burung bakalan tidak memasukkan jenis ini ke daftar pencariannya karena dagingnya tidak ekonomis dalam takaran timbangan.


Daftar jenis gagang bayam di Sumatera masih diperdebatkan para ahli hingga saat ini. Hanya ada tujuh jenis dari keluarga gagang bayam (Recurvirostridae) di dunia. Asia memiliki dua jenis di antaranya. Dan Sumatera sendiri beruntung dapat mengakomodir dua jenis itu, walaupun kedua jenis tersebut masih hangat dideskripsikan. Keduanya adalah gagang bayam belang (Himantopus himantopus) dan gagang bayam timur (Himantopus leucocephalus). Sebagian ahli menganggap gagang bayam di Sumatera adalah jenis yang berbeda, tapi tidak sedikit yang mengatakan bahwa gagang bayam timur adalah ras dari gagang bayam belang.


Fenomena Migrasi Burung

Fenomena penjelajahan satwa tidak habis-habisnya dibicarakan. Gagang bayam sendiri dikategorikan sebagai burung pantai migran (migratory shorebird). Dalam buku Panduan Studi Burung Pantai saduran Yus Rusila Noor dijelaskan bahwa sebagian gagang bayam termasuk migran namun sebagian justru tidak. Bergantung persebarannya. Gagang bayam yang hidup di belahan bumi utara akan rutin melakukan migrasi merespon tekanan alam di sana.


Penjelahan yang amat melelahkan serta penuh tantangan itu mesti dilakukan burung karena dua alasan yang terkenal. Pertama, migrasi dilakukan untuk menjawab tekanan kondisi lingkungan yang tidak bersahabat. Kedua, migrasi dijadikan sebagai siklus hidup untuk memanfaatkan situasi alam yang berbeda.


Penerbangan bukanlah sesederhana yang mungkin kita pahami dalam dunia burung. Navigasi penerbangan burung sudah dibekali keahlian tertentu. Hasil penelitian menunjukkan, beberapa panduan yang bisa dibaca burung adalah tanda-tanda alam seperti pola-pola gunung ataupun peta sungai-sungai, letak matahari, letak bintang, serta magnet bumi. Tanda-tanda alam tersebut seterusnya menetapkan jalur terbang (fly way) yang sudah bisa dipelajari oleh manusia. Maka dikenallah dua jalur terbang di Asia, yakni jalur terbang bagian timur Asia/Australasia dan jalur terbang Indo-Asia. Beberapa jenis burung penjelajah sering melakukan penjelajahan di luar jalur, kemudian jenis-jenis itu dinamakan saja vagran.


Dari penerbangan itu, diketahui juga beberapa jarak yang bisa ditempuh burung, di antaranya migrasi jarak pendek di mana jarak tempuhnya adalah 50-100 km dan migrasi jarak jauh mencapai lebih dari 6.000 km. Catatan terbaru menunjukkan bahwa burung camar artik masih menjadi penjelajah terjauh yang dapat melewati 18.000 km. Ini tidak bisa terlepas dari kepiawaian mereka mengefisiensi energi. Sebelum take off mereka sebelumnya telah menambah berat tubuh lebih dari dua kali lipat dari berat awal. Seterusnya, camar artik akan membakar berat tubuhnya sebanyak 0,5% untuk menyelesaikan penerbangan tiap jamnya.


Telur Gagang Bayam

Kami mungkin telah mengidap sindrom birding yang cukup akut. Diawali dengan penemuan 10 sarang gagang bayam di pesisir Percut Sei Tuan, Sumatera Utara, yang kami anggap fenomenal, kegiatan ini menjadi semacam obsesi. Telur-telur itu terasa mengundang kami untuk kembali setiap minggunya. Kemudian itulah yang kami lakukan, berputar-putar di koordinat N 03º42’02.8”, E 098º49’25.6”, mirip elang tikus yang mengumpulkan makanan untuk anaknya.


Catatan berbiak burung pantai migran seperti gagang bayam bakal tidak akan dilewatkan pengamat burung, terlebih di Sumatera. Perilaku berbiak itu mempengaruhi status migrasi. Jika ada burung migran yang berbiak di Indonesia, otomatis status migrasinya akan dicabut jika catatan itu bisa membuktikannya secara ilmiah. Pengertian migrasi dalam konteks perburungan diartikan sebagai burung yang melakukan perpindahan antara dua lokasi di mana salah satu lokasi adalah tempat melakukan reproduksi. Umumnya reproduksi dilakukan di belahan bumi utara. Akankah catatan kami ini akan mengubah predikat gagang bayam sebagai pemigran?


Telur-telur itu cukup unik. Dari bentuknya saja, mereka sudah menyimpang dari bulat telur pada umumnya. Di bagian vegetatif, telurnya menyudut tajam. Hal lain yang cukup menarik adalah, areal bersarangnya berada di rawa kecil di mana ketinggian sarang hampir sama dengan permukaan air. Telur loreng itu diletakkan pada media sarang setengah basah. Sarangnya dibuat dari rumput rawa dari keluarga Graminae, disusun rapi oleh si empuya menjadi tumpukan rumput yang kemudian membentuk sarang terbuka. Bertelur secara terang-terangan di alam selalu mengundang gairah predator alam. Tapi tenang saja, kami merasa yakin terhadap keamanan telur-telurnya setelah sekawanan induk gagang bayam mengusir seekor elang yang terlihat menjadi seekor pecundang.


Catatan kami, telur dalam satu sarang hanya 2–5 butir. Jumlah itu memenuhi standar dalam ukuran reproduksi sebuah kelas yang maju. Cangkangnya juga relatif kaku yang berarti juga sudah maju secara evolusioner. Telur dijaga induknya semasa inkubasi sehingga menjamin keamanannya. Kami yakin akan me-record tiap perkembangan mulai dari fase telur sampai akhirnya si anak akan mulai terbang meninggalkan sarang.


Tapi di akhir pemantauan, kami dilanda dilema. Pasang perdani, yakni pasang air laut tertinggi yang terjadi sekali tiap tahunnya, merusak arah kesimpulan kami. Semua sarang nyaris terendam. Hanya satu sarang yang selamat, dan itulah satu-satunya alasan yang membuat kami kembali. Telur yang terendam semuanya busuk. Kami jadi bertanya-tanya, mengapa perancah itu kalah dengan fenomena alam? Mungkinkah gagang bayam menginginkan status sebagai penetap atau si jangkung masih dalam tahap pembelajaran, sehingga mereka belum hapal dengan pelajaran pasang surut di Sumatera?


Peluang Hidup

Di lokasi pengamatan kami, peluang berbiak gagang bayam tergolong terancam. Bukan hanya dari predator alami, tetapi juga oleh faktor manusia ditambah gejala alam yang kadang tidak mengenal rasa. Kebetulan lahan bertelur itu merupakan eks tambak perikanan yang bisa saja berubah kebijakan dan pemanfaatan ekonominya. Jika para pengelola mulai mengintensifkan kolamnya, misalnya, maka harapan transfer gen kelompok gagang bayam itu akan gagal pada satu periode.


Sangat diharapkan adanya kebijakan otoritas yang dapat melegakan komunitas pengamat burung dan para aktivis sains. Pengamat burung sudah mencatat beberapa lokasi yang menciptakan nuansa kedamaian antara manusia dan burung. Di Kota Medan, Perumahan Cemara Asri adalah satu-satunya yang mengakomodir sedikitnya tujuh jenis burung air (waterbird) lokal untuk melakukan reproduksi. Lokasi ini sekaligus menjadi objek wisata alam bebas yang menarik. Namun, gagang bayam tidak termasuk dari jenis-jenis yang mendiami habitat itu.


Sedikitnya ada 15 situs persinggahan burung migran yang dianggap penting di Indonesia. Tiga di antaranya ada di Pulau Sumatera. Bukan tidak mungkin, situs khusus akan bertambah jika pengelola kolam tempat berbiak burung gagang bayam mau bermurah hati berdamai dengan “si penerbang”. Maka bertambahlah satu bukti, bahwa burung dan manusia adalah sahabat yang hakiki.


***


Berawal dari peringatan WMBD yang dua hari saja, kami larut ke durasi pengamatan yang lebih lama. Kami melupakan meriahnya pesta sepakbola dunia. Hajatan akbar itu telah membius penggemar si kulit bundar. Sekonyong-konyong saja, telur gagang bayam terlihat seperti bola yang siap ditendang. Seharusnya, dunia perburungan juga bisa menjadi bagian yang dapat mencuri perhatian khalayak ramai. Paling tidak, gagang bayam masih punya supporter fanatik seperti kami yang berpijak di Tanah Sumatera.



Oleh Akhmad Junaedi Siregar

Sudah pernah dimuat di Majalah Inside Sumatera

Senin, 11 Oktober 2010

Dilema Juvenil Elang Bondol Di Jaring Halus



Bukanlah hal asing bagi penduduk Sumatera memelihara burung. Bahkan piara burung sudah membudaya di antara penduduk. Hal ini bisa dilihat kebiasaan masyarakat memelihara burung di samping rumahnya. Untung saja kebanyakan jenis yang dipelihara bukan jenis yang dilindungi undang-undang di antaranya perkutut jawa (Geopelia striata), bentet kelabu (Lanius schach) dan kerak kerbau (Acridoteres javanicus). Sementara itu tidak tertutup kemungkinan jenis-jenis yang dilindungi. Jenis elang paling banyak diminati sebagai unggas piaraan, contohnya di Pulau Jaring Halus, Langkat, Sumatera Utara.


Pulau Jaring Halus berada di timur Pulau Sumatera dan berhadapan langsung dengan Selat Malaka adalah pulau sekaligus satu-satunya desa di bibir sungai Wampu, Suaka Margasatwa Langkat Timur Laut. Di sini hidup berbagai jenis hidupan liar di mana daerah ini dapat digolongkan memiliki avifauna yang kaya. Awal tahun 2010 tercatat 13 individu bangau tongtong (Leptoptilos javanicus) mencari makan di mudflat. Selain keunikan itu, daerah ini diketahui sebagai habitat terbaik kura-kura jenis tuntong laut (Batagur borneoensis) yang masuk dalam kategori critically endangered.


Nah, bagi sebagian penduduk mayoritas bersuku Melayu ini memelihara burung sudahlah menjadi hobi. Elang-elangan merupakan primadona burung piaraan, selain jenis-jenis lain seperti bangau tongtong, cangak abu (Ardea cinerea), cekakak (Halcyon spp) dan pelatuk (Picus spp). Elang bondol (Haliastur indus) adalah jenis paling diincar di antara jenis elang lain. Selain mudah didapatkan, elang merah ini berdaya hidup cukup kuat ketimbang yang lain.


Umumnya penghobi burung di sini mengambil langsung anak elang dari sarangnya. Elang yang dalam bahasa Inggrisnya brahminy kite ini memang sering dijumpai bersarang di antara ranting tajuk mangrove yang tinggi seperti pada pohon api-api (Avicennia spp). Sifat bersarang yang relatif terbuka memungkinkan pencari sarang dengan mudah memantau lokasi berbiak. Jika pun elang masih bertelur, penghobi akan menunggu beberapa saat menunggu anak elang hingga kuat untuk dipiara.


Menurut pengetahuan penduduk di Jaring Halus, elang bondol biasanya memiliki dua anak, kadang-kadang satu anak. Anak elang untuk sementara akan dipiara di dalam rumah. Pakannya relatif mudah diperoleh mengingat sumber mata pencaharian utama penduduk di sini adalah melaut. Ikan-ikan segar diberikan ke anak elang. Pada musim paceklik, tidak jarang anak elang diberi makan kerang-kerang kecil dari jenis salome dan remis. Dalam dunia liar, kemungkinan belum ada catatan elang makan kerang tapi jika sudah memiliki predikat satwa piaraan manusia semua kemungkinan bisa saja terjadi. Karena ini menyangkut penyambungan nyawa.


Pengamatan sederhana yang dilakukan, anak-anak elang piaraan mempunyai resiko terkena keterbelakangan pertumbuhan fisik dan mental. Di samping tubuhnya menjadi kurus, anak elang remaja yang sudah mulai berbulu kemerahan terkadang sulit untuk berdiri. Insting sebagai top predator pun nyaris tidak terlihat. Tatapan mata elangnya menjadi redup ditelan bumi. Masa-masa ini menjadi sulit. Biasanya juvenil elang ini akan mulai mengetahui takdirnya sebagai piaraan dan mencoba bangkit menjadi elang dewasa, tetapi masih dengan status jinak alias burung dalam sangkar.


Bulu putih mulai tumbuh di kepala, tawar-menawar harga pun mulai meningkat. Elang dihargai Rp 100.000,- sampai Rp 300.000,-. Suplay and demand menentukan harga di antara penghobi elang. Seringkali elang ditawar orang dari luar Pulau Jaring Halus, kalau begini, harganya melesit di atas rata-rata.


Klisenya, elang yang berstatus dilindungi nyatanya tidak terlindungi. Ini adalah cerita kecil dari desa kecil. Di luar sana, penghobi elang pasti lebih besar. Penduduk Sumatera mengapresiasi elang dengan sangat tinggi. Hanya saja caranya tidak tepat. Lain halnya dengan raptorian yang mengapresiasi elang dengan birdwatching, birdbanding dan kegiatan positif sejenisnya. Jadi, diharapkan kita semua memperkenalkan asyiknya kegiatan birdwatching ke penghobi. Agar nasib juvenil elang tersejahterakan. Nah, mari birdwatching birder!



Teks dan foto oleh Akhmad Junaedi Siregar

Anggota Tim Turtle Project WCS–IP (Medan)

Sudah pernah dimuat di website Burung Nusantara

Selasa, 28 September 2010

Penanganan Telur Tuntong Laut (Batagur borneoensis)


Penetasan telur merupakan salah satu simpul siklus hidup bagi satwa bertelur (ovipar). Penetasan memberi harapan awal untuk hidup bagi hewan. Telur kelompok aves tergolong aman karena dierami induknya. Kelas yang lebih primitif di bawahnya yakni reptil, amfibi dan ikan lebih tinggi ancamannya dari predator alami. Umumnya satwa-satwa tersebut menyiasati predator dengan bertelur dalam jumlah banyak dan bertelur pada satu musim tertentu yang hampir sama dengan prinsip pemutusan hama dalam pertanian.


Salah satu hewan bertelur yang miskin informasi adalah tuntong laut (Batagur borneoensis). Distribusi kura-kura besar ini juga tidak banyak diketahui. Peta distribusi tuntong laut ciptaan John B. Iverson yang dimuat dalam website Asia Turtle Conservation Network (ATCN) tahun 2006 sangat membantu memberi gambaran penyebaran tuntong di Asia Tenggara. Munawar Kholis, Giyanto dan saya sendiri telah melakukan survei ke berbagai muara besar di bagian timur Sumatera (Sumatera Utara dan Riau) untuk mengetahui penyebaran tuntong. Survei ini dibantu oleh Turtle Conservation Fund (TCF) dan Turtle Survival Alliance (TSA), yakni dua lembaga donor yang concern untuk konservasi dan penelitian jenis-jenis kura-kura selain penyu. Kami bertiga dari Wildlife Conservation Society–Indonesia Program akhirnya berjumpa kura-kura yang dicari pada bulan Nopember 2009 yang lalu. Survei yang dilakukan mencatat musim bertelur tuntong laut berawal bulan November hingga Pebruari.


Populasi tuntong laut menurun drastis 15 tahun terakhir menurut kuisioner yang dijalankan untuk masyarakat nelayan yang berdomisili di muara sungai. Empat bulan survei sarang tuntong yang kami lakukan di Pulau Jaring Halus hanya menghasilkan empat sarang yang terselamatkan dari sedikitnya terdapat 22 sarang yang tercatat. Ancaman kerusakan telur tuntong laut sangat tinggi baik dari predator alami (babi dan biawak) maupun pencari telur. Umumnya di setiap muara besar ada puluhan pencari telur tuntong yang sudah mengetahui seluk-beluk peneluran berupa ilmu mencari telur yang turun temurun dari nenek moyang mereka. Mereka tahu persis musim migrasi tuntong ke muara untuk bertelur, hubungan waktu bertelur dengan pasang surut air laut, serta posisi bulan bahkan mereka mempunyai keahlian menampung telur dengan tangan tanpa tuntong merasa terganggu. Kepiawaian mereka menjadi ancaman serius populasi tuntong di masa depan.


Kami berkesempatan menginkubasi empat sarang dengan jumlah telur 67 butir. Ke-67 butir telur itu kami pindahkan ke penetasan semi alami di tengah-tengah desa dengan membuat timbunan pasir buatan. Kami mencoba sealami mungkin seperti alam bebas. Semua telur dari empat sarang masing-masing dipisah per sarang lalu ditanam ke dalam pasir sedalam 20–31 cm sesuai kedalaman telur alami yang sebelumnya diukur pada proses pemindahan. Jumlah telur masing-masing sarang adalah 19, 15, 18 dan 15 butir dari berbagai tanggal peneluran yang berbeda-beda pula.


Hal yang perlu dijaga adalah suhu dan kelembaman penetasan (hatchery). Disarankan tetap menjaga suhu (27–32) ºC dalam pengukuran kedalaman 25 cm. Telur tidak akan berkembang baik jika kekurangan suhu atau penetasan buatan yang terlindung dari sumber cahaya alami. Di beting (tumpukan pasir) tempat tuntong menanam telurnya, sinar matahari umumnya penuh menyinari pasir sepanjang hari. Permukaan pasir pada siang hari sendiri dapat mencapai 44 ºC di mana pada saat itu kami tidak sanggup berjalan di atas pasir jika lepas alas kaki.


Pemindahan telur perlu kehati-hatian yang tinggi. Letak telur yang diperoleh dari alam harus diperhatikan. Posisi letak telur disarankan dipertahankan tentunya tidak memindahkan telur berubah posisi letak dari posisi awal, sekali bagian telur di bawah maka selanjutnya bagian itulah di bawah untuk menjaga kesempurnaan perkembangan telur.


Dalam perkembangannya, warna telur tuntong laut mengalami perubahan. Saat ditelurkan, warna putih kekuningan. Kemudian warna putih bersih mulai muncul dari bagian tengah telur lalu memutih ke semua bagian sejalan usianya dan terakhir berwarna putih kehitaman menjelang usia tetasan. Begitu juga dengan berat telur, semakin hari semakin ringan dan berat tukik yang menetas lebih kurang tinggal setengah berat dari telur awal.


Menjelang usia penetasan (2,5–3 bulan) sebaiknya penetasan dijaga jika penetasan dalam kandang tertutup di mana tukik tidak bisa keluar. Tukik ditakutkan terkena dehidrasi lalu mati jika tidak segera dibantu. Pembuatan kolam kecil di sudut kandang penetasan dianggap penting untuk menghindari kemungkinan yang tidak diinginkan. Peletakan kolam dapat dibuat dari ember berisi air tawar agar tukik dapat bertahan beberapa jam. Air tawar merupakan media alaminya karena tuntong laut hidup di air tawar dan bermigrasi ke air asin hanya pada musim bertelur. Namun penetasan semi alami juga dapat dimodifikasi bergantung metodologi yang dikembangkan.


Dalam penantian yang cukup lama, kami akhirnya dikejutkan dengan kehadiran tukik perdana yang menetas pada pagi hari dari sarang kedua. Sebanyak 43 tukik menetas dari 67 telur inkubasi. Persentase keberhasilannya adalah 64,17 %. Persen keberhasilan keempat sarang bervariasi, secara berurutan masing-masing adalah 73,68 %, 100 %, 61,11 % dan 20 %. Sedangkan umur inkubasi masing-masing sarang secara berurutan selama 87, 82, 85 dan 83 hari.


Terlihat nyata ada perbedaan persen penetasan masing-masing sarang maupun lama inkubasinya berbeda-beda. Kami menyimpulkan bahwa penyinaran merupakan kunci penting dalam inkubasi. Menetas 100% adalah sarang yang letaknya paling banyak mendapatkan sengatan matahari, sedangkan sarang yang 20% keberhasilan merupakan sarang yang paling sedikit disinari matahari langsung. Tidak baik jika penetasan yang dibangun dilindungi dari penghalang sinar matahari.


Tukik bisa saja menderita cacat bentuk karapas dan plastron. Cangkang ini akan mengikuti pola telur tuntong. Pemindahan telur secara gegabah dapat merubah bentuk telur karena telur tuntong memiliki pembungkus telur yang tidak kaku seperti telur ayam. Kotak khusus pemindahan telur terlebih dahulu disiapkan, diisi pasir secukupnya lalu dipangku untuk mengurangi goncangan jika naik kendaraan seperti boat dan mobil. Bentuk tukik yang tidak sempurna dapat mengurangi daya survive di alam. Tukik ini lebih labil bermobilitas seperti tidak bisa menjaga keseimbangan sewaktu berjalan atau kurang maksimal melaju pada saat berenang. Dikhawatirkan tukik akan sulit mendapatkan makanan maupun menghindari predator.


Sehari setelah telur menetas, tukik-tukik segera kami lepaskan, mengingat tukik harus berenang ke hulu sungai mencari air tawar sebagai habitatnya, tentunya setelah mengukur morfometri yang dianggap penting. Dalam merintis cara peneluran tuntong laut, penanganan yang kami lakukan diusahakan sealami mungkin. Karena kami percaya bahwa alam itu sudah memiliki kaidahnya sendiri yang sudah tertata rapi oleh alam.


Akhmad Junaedi Siregar

Foto WCS – IP

Anggota Tim Survei Batagur borneoensis WCS - IP dan Anggota BIOPALAS Dept Biologi FMIPA USU

Sudah Pernah dimuat di Warta Herpetofauna (edisi 2010)

Jumat, 13 Agustus 2010

Pandanglah Corybas atau Dunia akan Berakhir!


Di antara kanopi hutan yang rapat, sinar yang lepas dari celah-celahnya dimanfaaatkan oleh semak dan hewan. Kadal (Mabuia sp.) biasa berjemur untuk menghangatkan tubuhnya yang dipengaruhi lingkungan. Dan tumbuhan dasar seperti ganggang, lumut, paku, Araceae, anggrek, Nephentes dan anakan pohon, menyerap sisa-sisa matahari.

Hei, betulkah ini sekuntum anggrek? Pertanyaan yang sama akan muncul di benak Anda jika berjumpa Corybas, salah satu genus anggrek yang hidup di bawah teduhnya hutan. Bunga liar seukuran 1,5 cm ini termasuk bagian dari vegetasi dasar tanah yang mempunyai kelembaban tinggi. Di pelukan rimbun hutan sudah terbentuk iklim mikro dengan kelembaban, pH , suhu dan tekanan tersendiri yang menjanjikan kehidupannya.

Corybas adalah tumbuhan yang termasuk Spermatophyta nan eksotis. Ia berukuran kecil, dan uniknya hanya mempunyai satu daun. Daun berwarna hijau itu bersama batangnya mengandung kadar air yang cukup tinggi. Persebarannya di Asia Tenggara. Dan bila musim bunga tiba, muncullah satu bunga mungil merah yang indah bagaikan istana peri, lengkap dengan perhiasan pendukungnya. Ukuran bunga Corybas hampir menyamai ukuran seluruh bagian tubuhnya. Lagi-lagi, hanya ada satu bunga.

Kenapa bunga yang tergolong suku Orchidaceae ini tak setenar Amorphophallus titanum dan Rafflesia Arnoldi yang masing-masing adalah bunga tertinggi dan terbesar di dunia? Padahal bunga anggrek Corybas juga punya keistimewaan. Sejauh ini, dialah satu-satunya tumbuhan yang hidup dengan satu daun dalam satu siklus hidupnya.

J.B Comber dalam bukunya, Orchids of Sumatera (2001), menuliskan bahwa di Sumatera telah ditemukan 3 jenis Corybas. Bandingkan dengan di Jawa yang hanya terdapat dua jenis. Bila dilakukan penelitian lebih lanjut, temuan di Sumatera itu diduga kuat akan bertambah. Dalam hukum ekologi, semakin tinggi biodiversitas suatu tempat, semakin mantap dan stabil tempat itu. Kita boleh bangga karena dalam lingkup ekologi dunia, biodiversitas Indonesia adalah yang paling tinggi setelah Brasil. Negara-negara industri jelas harus iri dalam hal ini.

Surat di bata” (ayat Tuhan), demikian sebutan Suku Karo untuk Macodes sp, salah satu jenis ”orchid” setempat. Tidak jauh berbeda, Corybas juga seperti punya tulisan ”Tuhan” di permukaan daunnya. Konon, pertulangan daun yang unik dan terlihat jelas di kedua jenis anggrek ini adalah suatu ”ayat”. Dan di tengah masyarakat Karo, kedua tumbuhan ini termasuk bagian dari sekitar 120 tumbuhan obat liar.

Saya sangat bahagia menemukan dan mengabadikan Corybas di sekitar Taman Eden 100, Tobasa, Sumut. Meski ditemukan dalam rangka Praktikum Lapangan Biologi FMIPA USU, bunga ini bukanlah objek utama kami. Tapi dalam perjalanan, saya selalu ketinggalan di belakang karena terlalu penasaran dengan keindahan bunganya. Saya makin jauh di belakang kawan-kawan lain karena asyik memindahkan daun mati yang hampir menutupi separuh tubuh bunga-bunga tersebut. Ini memang pertama kali saya melihat Corybas.

Dalam satu pandangan jarak pendek, saya bisa menemukan 4 sampai 6 Corybas. Termasuk populasi yang padat dalam jenis yang sama! Ke mana dua jenis lain yang dikatakan Comber? Saya harus menemukannya. Ini adalah ”kampung”-ku sendiri, bukan kampung Comber! Saya harus lebih mengetahui apa yang ada di sini ketimbang dia.

Bunga yang masuk dalam posisi apendiks II dalam CITES (Convention on International Trade of Endangered Spesies) ini menyatu dengan tumbuhan dan hewan lain di dalam hutan. Mereka ”duduk bersama” untuk melakukan fungsi utamanya. Di atas permukaan tanah yang ditutupi serasah daun, sebenarnya ada sekelompok hewan dan tumbuhan yang menyokong kehidupan dunia. Mereka adalah jasad-jasad yang tak begitu dikenal dari golongan hewan dan tumbuhan, baik itu berukuran mikroskopis sampai makroskopis. Dari dasar tanah, akan terlihat serangga, larva kumbang, lalat, Corybas, jamur, cacing, kadal, katak, Nephentes, dan mikroorganisme yang tak terlihat dengan mata telanjang. Makhluk-makhluk hidup mikro itu tergabung dalam kesatuan agen pendegradasi. Tanpa mereka, dunia akan penuh dengan tumpukan material sampah.

Di era kanker global warning ini, suhu yang semakin tinggi sangat mempengaruhi kehidupan mereka. Metabolismenya akan terganggu. Dan jika kelompok dekomposer ini tak bisa lagi menjalankan fungsinya di bawah iklim mikro, ini pertanda buruk! Dunia akan berakhir.


Teks dan foto oleh Akhmad Junaedi Siregar (Mahasiswa Biologi USU), sumber Majalah Inside Sumatera

Jumat, 30 Juli 2010

Huia sumatrana, Sang Pengembara Sumatera



Sudah umum untuk ranah amfibi bahwa endemisitas sangat dekat dengan makhluk yang hidup di dua alam tersebut. Dunia ini sangat kaya dengan barrier (penghalang) alam, sehingga banyak terjadi isolasi kehidupan. Penghalang itu bisa berupa sungai, gunung-gunung, selat, danau, padang, dan lainnya. Di Pulau Sumatera, hal-hal semacam itu lebih banyak lagi, sehingga endemisitas satwa menjadi tinggi. Kelompok amfibi adalah vertebrata paling malang dirundung isolasi, karena mobilitasnya tidak sekaliber kuda yang bisa berlari kencang, atau sekelas burung migran yang dapat membelah dunia utara-selatan.

Katak-katak contohnya. Kelompok ini hanya bisa melompat pendek, bahkan sebagian “mengesot” karena memang tak kuasa melompat. Dilengkapi dengan ekologi kulit tipis, satwa berkaki empat ini tidak bisa hidup di daerah miskin kelembaban dan mereka bertoleransi rendah terhadap lingkungan. Semua itu berujung ke peluang endemisitas.

Tipologi alam Sumatera memang potensial merancang keanekaragaman, termasuk mendisain keanekaragaman suku manusia. Di Tanah Batak, isolasi alam merancang suku Batak menjadi lima sub-etnik yang berbeda. Bahkan kelima sub-etnik tersebut tidak bisa berinteraksi lagi dengan nyaman menggunakan Bahasa Batak menurut dialek masing-masing. Sudah seperti dua orang berkomunikasi, yang satu berbahasa Jepang satu lagi bahasa Arab. Tak saling mengerti.

Di balik isolasi, ada kekayaan. Paradoks, bahwa kemudahan telekomunikasi justru memicu mundurnya keanekaraman budaya dan bahasa. Problema ini sudah semakin terasa dewasa ini. Untungnya masih ada segelintir orang yang menjadi pahlawan di dalam suku masing-masing. Tapi kita harus bicara katak lagi.
Kongkang jeram sumatera, demikian nama resmi katak yang juga dikenal dengan Sumatran torrent frog ini. Ia adalah sejenis katak unik. Kongkang jeram sumatera merupakan satu jenis dari empat jenis marga Huia yang ada di planet biru. Sedangkan marga Huia merupakan satu dari tujuh marga suku Ranidae di Indonesia. Kelompok Ranidae dikenal sebagai katak sesungguhnya, yakni katak sejati yang melengkapi pengertian katak secara hakiki. Di Pulau Sumatera, kelompok Ranidae diwakili tiga marga, yakni Huia, Meristogenys dan Rana. Mereka menggantungkan hidup di sela-sela hutan tropis Sumatera yang masih tersisa.

Bersifat vagrant, yakni tersebar secara acak, tapi selalu terikat dengan aliran air berarus deras berhutan, jernih dan berbatu, adalah ciri dari katak berkaki sangat ramping ini. Ia juga mempunyai larva yang dinilai aneh untuk ukuran katak-katak karena dapat hidup di air berarus tinggi. Puncak breeding-nya saat bulan purnama. Sifat mengembaranya makin meningkat pada saat itu. Jantan selalu lebih sering ditemukan dari betina. Ukuran morfologi jantan jauh lebih kecil dari betina. Si jantan kadang-kadang didapati menjadi mangsa laba-laba kecil, sebuah jaring-jaring makanan yang mungkin dianggap terbalik.

Pakar-pakar herpetologi sudah mengetahui persebarannya meliputi daerah Nanggroe Aceh Darussalam, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Jambi, Sumatera Selatan, Bengkulu dan Lampung. Katak ini tak bisa menyeberangi lautan ke Borneo, Peninsular, Jawa dan Maldive, karena barrier berkesumateraan.

Nah, Pulau Sumatera kaya bukan? Banyak yang bertanya, ”Apa untungnya makhluk yang tak menguntungkan itu hidup di hutan atau tetap survive di bumi ini? Sebagai top evolution, manusia sebagai primata paling cerdas dan bertindak sebagai pengambil keputusan, harusnya bisa menjawab pertanyaan ini dengan mudah.


Akhmad Junaedi Siregar, Tim Turtle Project, Wildlife Conservation Society –Indonesia Program (juned_sir@yahoo.com)
, sumber insidesumatera.com