Senin, 03 Agustus 2009

Dengan Ini, Kalian Resmi Diterima Sebagai Angkatan Kongkang Macan



Apes. Satu fenomena alam terlewati. Besoknya, kami hanya menikmati cerita gerhana matahari cincin yang terjadi tanggal 26 Januari 2009 lalu. Di harian lokal, terpampang foto matahari terhalangi satelit. Sungguh menakjubkan. Hari itu, Bumper (Bumi Perkemahan) Sibolangit memang diselimuti kabut. Rinai hujan mengganggu aktivitas pendidikan dasar (diksar) mahasiswa pencinta alam (mapala) Biopalas yang sedang kami lakukan. Di bawah kanopi, cahaya terlihat mencoba lolos ke lantai hutan. Tapi awan masih terlalu tebal, dan memantulkannya kembali mentah-mentah ke angkasa luar. Di sini, kami kekurangan sinar matahari. Bahkan kayu bakar yang akan digunakan pun masih terlalu lembab. Dan inilah saatnya mengeluarkan jurus ilmu survival ala mapala.

Di sudut malam yang dingin dan rintik-rintik, hanya suara jangkrik dan suara rimba alam yang menghibur keliaran kami. Anak-anak kampus calon relawan mapala tampak menggigil melawan hawa dan rasa takut. Semakin deras hujan, semakin suara alam menggema. Ternyata malam berhujan di Bumper ini selalu dipuja-puja oleh kongkang macan--macan kecil yang umum di Sibolangit--dengan nyanyiannya yang serak basah.

Cerita kongkang macan, sejenis katak kecil di sini mungkin tidak pernah terbersit di pikiran anak-anak pramuka yang camping, termasuk pecinta alam. Soalnya, kehadiran satwa yang dikenal dengan nama sains Hylarana kampeni alias Rana kampeni ini kontras dengan kegiatan camping di sini. Bagai air dan api, saat malam datang dan hujan mengguyur hutan perkemahan, pecinta alam lebih sibuk mengurusi aliran run off air ke tenda dan menarik sleeping bag untuk bermimpi. Tapi momen ini justru adalah momen pesta macan-macan kecil endemik Sumatera tersebut.

Kongkang macan merupakan satu jenis amfibi yang hidup pada lantai-lantai hutan tropis, dan hanya dijumpai (endemik) di Pulau Sumatera. Itu pun terbatas di Sumatera Bagian Utara (Sumbagut), dan menyentuh sedikit daerah Taman Nasional Kerinci Seblat. Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) merupakan habitat terbaik satwa ini. Jadi jangan pernah bermimpi melihatnya di Jawa, Borneo, Maldive, Benua Amerika, serta dimanapun selain di Sumatera. Pulau ini juga adalah sepotong surga bagi katak pohon dunia, yakni katak pemanjat yang eksotis.

Nama ilmiah kongkang macan diberikan oleh Boulenger, seorang zoologis Swedia pada 1920. Pada tahun itu, keberadaannya belum diketahui pasti. Boulenger hanya menjelaskan, katak ini ditemukan di Pulau Sumatera. Kemudian, pada penelitian selanjutnya oleh Joko Iskandar dari salah satu universitas di Jawa, barulah keberadaannya bisa diketahui secara pasti. Statusnya dalam IUCN dimasukkan ke dalam golongan least concern (LC) atau masih jauh dari predikat punah. Tapi keberadaannya di lokasi yang sangat terbatas mengartikan bahwa hewan ini sangat mudah terganggu. Sekali ada masalah biologis di Sumbagut yang menghambat regenerasi macan kecil ini, maka mereka status mereka bisa melompat seketika menjadi penyandang predikat extinct (punah) secara mendadak.

Adalah fakta, katak milik Sumatera ini tidak akrab dengan penduduk Sumatera. Pertama, katak liar memang tidak memberikan manfaat apa-apa untuk penduduk lokal. Yang kedua, karena katak ini hanya hadir di hutan, pada malam hari, serta aktif kalau hujan sedang mengguyur bumi. Alasan-alasan tersebut sepertinya menjadi tembok pemisah hubungan penduduk dengan kongkang macan. Di Sipirok, Tapanuli Selatan, penduduk mengenal katak ini dengan sebutan tohuk bulung-bulung (katak daun).

Penyebutan nama kongkang macan terhadap hewan kecil ini disematkan oleh peneliti. Biasanya peneliti memberikan nama sebutan penduduk, tapi rupanya penduduk belum mengenalnya secara luas dan tak punya nama untuk merujuk katak ini, sehingga para peneliti memberikan nama berdasarkan ciri khas yang dimiliki si katak.

Warna morfologi kongkang macan sangat khas di dunia katak. Kulitnya berwarna kekuningan, penuh totol kuning tua seperti macan. Di alam liar, ciri spesifik seperti itu hanya dimiliki kongkang macan.

Ukuran kongkang macan ada dua versi. Betina kadang bisa lebih besar dari katak rumah (Bufo melanostictus). Ukuran pejantan sepertiga lebih kecil dari si betina. Sering, sang pejantan dianggap anak dari si betina. Banyak orang bisa keliru. Alam memang menuntut si betina untuk berukuran lebih besar, biar mampu bertelur lebih banyak. Biar generasinya bisa bertahan di Pulau Sumatera.

Dunia telah sepakat, tahun 2008 yang baru ditinggal beberapa bulan yang lalu dijadikan tahun istimewa bagi katak. “Year of Frog”, adalah apresiasi kekhawatiran dunia akan eksistensi katak. Pemanasan global dikhawatirkan berakibat fatal terhadap siklus hidup hewan yang sensitif ini.

Kami, Biopalas, telah terikat batin dengan kongkang macan. Pandangan pertama diksar kali ini pun tertuju untuk kongkang macan. Saat pelatihan herpetofauna, relawan menjumpai hewan ini dalam jumlah besar. Tentunya waktu itu malam hari dan diguyur hujan lebat. Besoknya kami mengangkat calon relawan menjadi relawan. Dan mereka sangat senang diangkat sebagai Angkatan Kongkang Macan.

Klasifikasi Kongkang Macan
Kingdom : Animalia
Filum : Chordata
Kelas : Amfibi
Ordo : Anura
Suku : Ranidae
Marga : Hylarana
Jenis : Hylarana kampeni


Teks dan foto oleh Akhmad Junaedi Siregar
Sumber Majalah Inside Sumatera

Senin, 06 Juli 2009

BIOPALAS Merampungkan Survei ke Barumun



Biologi Pecinta Alam dan Studi Lingkungan Hidup (Biopalas) Departemen Biologi FMIPA USU, kamis 03 Juni 2009 usai merampungkan Survei Awal Pengenalan Ekosistem Barumun Raya. Survei ini berlangsung selama 10 hari dengan tambahan waktu perjalanan dua hari.


Yang dimaksud Kawasan Ekosistem Barumun Raya yang sering disingkat Kebar adalah kawasan gabungan antara Suaka Margasatwa Barumun, hutan register dan hutan adat (ulayat) yang secara biologis masih punya hubungan yang erat, termasuk daerah di sekitarnya yang masih banyak berintegrasi dan berkepentingan tinggi dengan keberadaan Kebar


Tujuan survei berupa pengenalan Kawasan Ekosistem Barumun Raya (Kebar) secara mendasar, memfilmkan rona Kebar secara menarik, mencari ulasan kata yang cocok dalam pembuatan poster, mengenal jenis pohon yang penting dan ekonomis di Kebar, mengidentifikasi lokasi yang cocok untuk Base Training Centre, mencari bahan tulisan untuk publikasi ke beberapa media tentang keberadaan Kebar dan mencari informasi keberadaan harimau dan gajah sumatera.


Metode survei yang digunakan adalah dengan wawancara langsung dengan penduduk yang berbatasan langsung dengan SM Barumun. Dapat dilaporkan secara umum bahwa isu satwa seperti gajah dan harimau diyakini sebagai hewan yang beradat. Kehadirannya di suatu desa menandakan adanya perbuatan kurang senonoh oleh penduduk yang didatangi. Termasuk perzinahan, sombong, takabur dan menantang harimau dan gajah. Sebagaian besar hewan ini justru adalah penjaga kampung, khususnya harimau. Biasanya penduduk di Kebar memiki sebutan hormat untuk kedua jenis satwa dilindungi ini. Gajah biasa dipanggil Pak Godang (bapak yang besar) sedangkan harimau biasa disebut Nagogo, Namora, Rajai, Dan Oppungi serta Namaradati. Penduduk Kebar sangat percaya bahwa menyebut harimau diluar sebutan hormat akan didatangi harimau, terlebih mengejeknya. Di Kebar, dapat disimpulkan bahwa ancaman gajah dan harimau bukanlah dari perburuan tetapi dari hilangnya habitat gajah dan harimau terkait ilegallogging dan aktifitas penduduk di hutan secara umum.


Secara umum di Kebar hutannya masih terjaga. Namun di beberapa tempat sudah terindikasi adanya perambahan hutan secara intensif oleh pihak luar. Contohnya di desa Botung, Batang Lubu Sutam. Disini ada pengolahan kayu yang sepertinya dikelola pihak yang mampu di sisi finansial. Diduga ada sindikat bisnis kayu yang melibatkan cukong luar, perangkat desa, aparatur negara serta penduduk lokal sebagai pekerja kasar. Saat ini, pengolahan kayu ini masih beroperasi dan terus menebang hutan yang disinyalir adalah hutan SM Barumun. Terlihat dari jauh (dari Kec. Sosa) bahwasanya perambahan sudah mulai naik ke bukit dan telah difasilitasi alat berat dan jalan besar untuk keperluan perambahan.


Di Kec. Simangambat juga masih terjadi perambahan hutan register 40 secara intensif dan sekarang mencapai puncak pemusnahan hutan secara massal. Hutan register 40 telah tinggal nama dan satwa gajah sebagai satwa utama di hutan ini sudah kehilangan habitat. Gajah-gajah yang tersisa sebanyak 60 ekor telah dipindahkan ke Kab. Labuhan Batu.


Kegiatan survei ini didukung penuh oleh Akasia-SRI (Sumatera Rainforest Institute). SRI sendiri akan menindaklanjuti kegiatan ini berupa pembuatan Base Training Centre, pelatihan-pelatihan, pemutaran film dan reboisasi berbasis kesadaran masyarakat.■


Teks & foto oleh Akhmad Junaedi Siregar

Sumber : Buletin Genom Biologi USU

Kamis, 07 Mei 2009

Hutan Bakau Deli Serdang Tempat Persinggahan Burung Migran dan Upaya Pelestariannya


Dua miliaran tahun yang silam, bumi adalah bola tandus miskin kehidupan. Saat itu kehidupan sedikit demi sedikit berevolusi menuju kesempurnaan. Seiring dengan bergulirnya waktu, komponen biotik dan abiotik jadi sistem yang tak terpisahkan. Sekarang, sistem itu makin sempurna dan memang tak bisa diceraikan. Mereka merupakan komponen hidup dan tidak hidup. Hutan merupakan salah satu sistem yang di dalamnya terjalin jaring-jaring makanan.

Dari berbagai klasifikasi hutan, hutan mangrove merupakan vegetasi yang hidup di salinitas air yang tinggi. Keanekaragaman hayati yang terkandung di hutan mangrove Indonesia menempati angka teratas di dunia. Hutan yang mempunyai daun berkutikula tebal ini, tersebar luas di bibir pantai pulau Indonesia. Habitatnya adalah pantai yang berlumpur. Kondisi tumbuhan yang berciri khas akar-akar napas ini sangat dipengaruhi pasang surut air laut. Sehingga barisan mangrove dikenal sebagai pencegah abrasi dan instrusi tanah.

Di samping itu, mangrove merupakan tempat dari sebagian basar biota laut. Ikan-ikan laut bertelur di sini. Kepiting bakau (Scylla sp) tidak bisa hidup tanpa proteksi mangrove. Tanah gosong, habitat berbagai jenis hewan mikroskopik, kerang-kerangan, cacing, ikan dan crustacea merupakan lahan pencarian makan bagi burung air.

Salah satu fauna yang melengkapi biodiversitas ekosistem mangrove adalah burung migran. Hewan nomaden ini termasuk salah satu dari dua penggolongan burung air. Burung penetap (resident) merupakan burung-burung yang lokasi jelajahnya hanya sebatas tempat yang didiaminya. Bangau bluwok (Mycteria cinerea), bangau tongtong (Leptoptilos javanicus), ruak-ruak, kuntul besar, kuntul sedang, kuntul kecil dan lainnya merupakan contoh kecil burung penetap yang dijumpai di pesisir Deli Serdang, Sumatera Utara.

Berbeda dengan burung yang hidupnya selalu berpindah-pindah yakni burung migran. Dipantau dari ukuran tubuhnya burung penjelajah ini umumnya berukuran lebih kecil dari pada unggas penetap. Bagi pengamat burung, binokuler maupun monokuler menjadi alat yang sangat membantu untuk melihatnya. Aktivitas mencari makan terakumukasi di garis bibir air laut. Selalu berasosiasi hingga ribuan ekor merupakan salah satu cara pertahanan untuk menghindari predatornya.

Jelajah “turis bersayap” ini dimulai dari Rusia bagian utara. Pada musim panas di sana merupakan momen untuk melakukan reproduksi. Beberapa bulan kemudian terbang mengarah ke selatan dan singgah ke daerah tropis dengan alasan menghindari musim dingin di belahan utara. Pesisir Deli Serdang yang termasuk iklim tropis salah satu tempat yang banyak disinggahi burung migran sebelum menjelajah lagi ke Australia. Berdasarkan data yang dihasilkan dari setahun pengamatan burung air di Bagan Percut oleh BIOPALAS USU bekerjasama dengan Yayasan Akasia Indonesia yang concern terhadap keberadaan burung air ini disimpulkan bahwa populasi yang banyak dijumpai burung ini pada bulan Desember, Januari dan Februari.Dari pengamatan burung air yang dilakukan se-Asia yang dikoordinasi oleh Wetlands International - Indonesia Program melalui program Asian Waterbird Census (AWC) masih dijumpai keberadaan burung air walaupun sudah berkurang dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Kali ini birdwatching dilaksanakan pada bulan Januari minggu kedua dan keempat ini di Deli Serdang di tiga lokasi pengamatan. Bagan Percut dan Paluh Getah, Pantai Labu, dan Perumahan Cemara Asri merupakan tiga lokasi yang dianggap mewakili Deli Serdang.

Dewasa ini, keberadaan burung air dunia sangat terancam. Penebangan bakau (mangrove), konversi hutan bakau menjadi tambak, perburuan liar, pencemaran daerah pesisir, pembangunan yang tidak ramah lingkungan dan berkembangnya global warming yang mengakibatkan naiknya permukaan air laut sehingga areal untuk mencari makan burung air jadi berkurang. Ini merupakan ancaman yang sangat serius bagi keberadaan hewan berbulu itu.

Ditinjau dari potensi wisata, keberadaan burung air dan habitatnya (mangrove) ternyata dapat dijadikan sebagai paket wisata bernuansa lingkungan. Jepang misalnya, areal mangrove sudah menjadi tempat rekreasi yang menjanjikan kemajuan kepariwisataan negara sakura tersebut. Bagaimana dengan Deli Serdang, masih menunggu?

Teks dan foto oleh Akhmad Junaedi Siregar

Fenomena Migrasi Burung di Sumatera

Selalu ada yang berubah di setiap tahunnya. Perubahan musim di daerah Sumatera dan ekuator terus berjalan sesuai pergerakan bumi di orbitnya. Hanya ada dua musim yakni musim penghujan dan musim kemarau. Berbeda pada daerah temperate (subtropis), mengalami siklus empat musim yang berbeda.

Perubahan dua musim di daerah tropis ternyata tidak seberpengaruh perubahan empat musim di subtropis. Musim dingin pada subtropis menimbulkan dilema tahunan bagi satwa di sana. Rantai makanan terputus sewaktu es mulai membeku. Serangga dan jenis mangsa hewan-hewan lainnya memilih berhibernasi (istirahat sepanjang musim dingin) di dalam lubang-lubang yang mereka bangun sendiri. Siklus ini umumnya terjadi pada hewan tingkat rendah serta vertebrata amfibi, reptil dan sebagian mamalia. Satwa ini sebelumnya telah mengumpulkan cadangan makanan semaksimal mungkin untuk melawan suhu di bawah nol derajat selama empat bulan musim dingin tersebut.

Fenomena lain ternyata tidak demikian terhadap vertebrata berbulu homeokiloterm (berdarah panas) seperti unggas. Mobilitas tinggi satwa berbulu itu tinggi memungkinkannya bermigrasi ke tempat yang lebih panas di bagian dunia lain. Belahan dunia bagian utara pada saat itu telah membeku. Sepanjang ekuator dan belahan bumi selatan merupakan alternatif lain sebagai habitat pendukung yang efesien karena di daerah ini tidak ada istilah pemutusan rantai makanan karena tidak dijumpai fluktuasi musim ekstrim.

Pulau Sumatera adalah sepotong surga bagi burung migran. Burung migran berpindah dari belahan bumi utara (Asia Utara, Asia Timur laut dan Asia Selatan) untuk mencari makanan dan lokasi nyaman seperti hutan hujan tropis, sawah-sawah, aliran sungai, rawa serta daerah pantai berlumpur sepanjang pulau yang juga dipanggil Pulau Andalas ini. Sumatera adalah bagian dari flyway (jalur terbang) yang umumnya selalu dilintasi satwa migratory bird. Seperti yang telah dikemukakan Wishnu Sukmantoro, koordinator Asian Raptor Migrant Indonesia Program untuk Asian Raptor Research and Conservation (ARRC), bahwa dua flyway utama yang sebagai pintu masuk burung migran ke Sumatera adalah jalur besar Semenanjung Malaya dan dan jalur kecil dari Kepulauan Nicobar, India. Jalur besar Semenanjung Malaya meliputi jalur penerbangan mengikuti Kepulauan Riau (Bengkalis dan Rupat) kemudian bergerak menuju ke arah Tenggara melintasi Sungai Serka (Riau), Muara Banyuasin, Simpanggagas dan Sungai Sembilang (Sumatera Selatan), Lampung Timur, dan diperkirakan melewati Bakauheni untuk menuju ke Pulau Dua, Teluk Banten. Selanjutya jalur kecil dari kepulauan Nicobar melalui Kepulauan Nias dan Mentawai dan ke arah Sumatera Selatan dan Lampung bahkan sampai Jawa. Jalur kecil adalah jalur khusus bagi beberapa jenis burung satwa seperti elang-alap shikra (Accipiter badius). Jalur besar Semenanjung Malaya merupakan pintu utama masuknya burung migran ke pulau Sumatera. Burung-burung ini selanjutnya terus bermigrasi ke bagian selatan bumi termasuk ke benua Australia. Khusus jenis burung pemangsa (raptor) kelompok elang dan alap bermigrasi ke Pulau Jawa dan mentok di Nusa Tenggara sebagai terminal jalur migrasi burung pemangsa di Indonesia.

Jenis burung pemigran yang melintasi dan singgah ke Sumatera sangat tinggi. Termasuk jenis-jenis burung pemangsa seperti elang-alap shikra (Accipiter badius), jenis burung pantai seperti gajahan besar (Numenius arquata), biru laut ekor hitam (Limosa limosa), trinil bedaran (Xenus cinereus), jenis burung teresterial seperti sikatan pantat kuning (Ficedula zanthopygia) serta banyak berbagai jenis burung lainnya. Di Pulau Sumatera sendiri sudah ada tempat yang tergolong Important Bird Area (IBA), yakni lokasi yang penting bagi burung yang sudah menampung lebih dari 20.000 individu burung pada lokasi tersebut.

Apresiasi keberadaan burung migran ini di Pulau Sumatera tergolong masih ketinggalan dari pulau Jawa. Pulau Jawa relatif memiliki komunitas dan lembaga pecinta burung yang tinggi. Meskipun demikian keberadaan burung migran di Sumatera telah diteliti berbagai lembaga internasional, seperti ornop World Wildlife Conservation (WCS) di mana sekarang ini mereka aktif melakukan pencincinan kepada burung migran di Pantai Cemara, Jambi. Kegiatan ini perlu dilakukan sebagai inventarisasi dan membuktikan jalur terbang yang dipakai burung migran pantai tersebut. Langkah seperti ini sangat penting sebagai dasar-dasar konservasi.

Birdwatching (pengamatan burung) merupakan salah satu kegiatan yang sudah mendapat respon positif oleh masyarakat. Pengamatan burung sangat mengasyikkan dan mendidik. Sebagian besar birdwatcher adalah anggota LSM, pecinta alam, peneliti, mahasiswa, penduduk, serta hobiis burung adalah potensi tinggi pengembangan kegiatan birdwatching tersebut. Peralatan standar yang bisa membantu pengamatan antara lain teropong binokuler atau monokuler, buku identifikasi, note book, serta tambahannya berupa kamera dan tripod. Partisipasi pengamatan di setiap tempat sangat diharapkan dan saling men-share adalah aksi penting.

Di Sumatera Utara, pengamatan burung migran lebih terfokus ke burung air migran. Salah satu habitat penting bagi burung adalah Kawasan Percut, Kecamatan Percut Sei Tuan, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara. Kawasan ini sudah terdaptar sebagai IBA yang ditetapkan oleh Birdlife Internasional. Sumatran Rainforest Institut (SRI) sudah mempunyai agenda rutin dalam pengamatan di kawasan ini. Bukan hanya SRI, Biologi Pecinta Alam dan Studi Lingkungan Hidup (Biopalas) merupakan mapala di Universitas Sumatera Utara yang concern terhadap keberadaan burung air di Percut.

Momen tahunan pengamatan burung air migran adalah tergolong momen besar di Sumatera Utara. Di bawah payung AWC (Asian Waterbird Cencus), burung-burung air se-Asia dihitung. Tahun 2007 yang lalu, ditemukan sedikitnya 8.000 burung air migran di Percut. Perhitungan ini kemudian ditabulasi lalu dikirim ke koordinator nasional. Kegiatan ini dirancang oleh Wetlands International dengan satu koordinator setiap negara yang ada di Asia. AWC dilakukan pada bulan Januari secara suka rela oleh siapa pun yang tertarik dengan burung air, termasuk burung air migran.

Vektor Burung migran ke bagian selatan bumi terjadi pada setiap bulan Oktober-November sedangkan vektor balik dari selatan ke bagian utara bumi terjadi di bulan Februari-Maret. Burung ini kembali ke belahan bumi utara bertujuan untuk berbiak. Breeding (masa berbiak) selalu terjadi di temperate utara, tidak pernah burung migran berbiak di ekuator atau bagian selatan bumi. Perilaku ini merupakan siklus hidup burung migran setiap tahun dan perilaku ini sekaligus indikator diferensiasi antara burung migran dan penetap (residen).

Fenomena migrasi burung merupakan fenomena alam yang sangat menarik dan perlu pendalaman ilmu. Burung migran bisa melintasi berbagai negara serta “tidak mematuhi” peraturan negara mana pun. Mereka berkelana via flyway yang tertentu dan Pulau Sumatera adalah jalur terbang yang sangat penting.


Oleh : Akhmad Junaedi Siregar (Pengamat burung dan mahasiswa pecinta alam dan studi lingkungan hidup (BIOPALAS) Dept Biologi FMIPA USU)

Rabu, 29 April 2009

AWC 2009, Menghitung Burung Air di Deli Serdang dan Serdang Bedagai

Kehidupan liar memang indah. Keindahannya justru tidak didapatkan dengan mudah. Satu alasan membuat kami untuk terlibat dalam bagian perhitungan burung air se-Asia selama tiga hari. Perhitungan unggas air ini dilakukan serentak di Benua Asia, tepatnya minggu kedua dan ketiga bulan Januari setiap tahunnya. Kegiatan ini perlu dilakukan untuk mengetahui keberadaan dan perkembangan burung air Asia.

Pada tahun ini, birdwacther yang terdaftar menghitung burung dalam Asian Waterbird Cencus
(AWC) ini adalah dari BIOPALAS dan ornop Sumatra Rainforest Institute (SRI) serta sedikit peneliti dan pecinta burung lokal. Pesisir Percut Sei Tuan masih tetap menjadi tempat perhatian perhitungan burung kali ini. Pesisir Percut yang dimaksud mencakup daerah Tanjung Rejo dan Restauran. Saat ini, Pesisir Percut sudah dikenal sebagai Important Bird Area (IBA) karena sudah mendukung kehidupan sedikitnya 20.000 burung air di kawasan ini. Bangau bluwok (Mycteria cinerea) di sini ditemukan 46 ekor dan tentunya dijumpai burung pantai (shorebird) lainnya melengkapi pengamatan pada hari itu. Demikian hari pertama.

Hari kedua pengamatan, kami bertolak ke Pantai Labu, satu kecamatan yang di dalamnya akan dibangun bandara internasional Kuala Namu yang ditargetkan akan selesai pada tahun 2010. Pantai yang terpilih pada saat itu adalah Pantai Ancol. Pantai Ancol merupakan pantai yang sudah dikelola Pemda setempat sebagai wisata bahari. Harga tiket masuk perorangnya Rp 2.000 dan tersedia mainan dan gubuk peristirahan. Keberadaan burung di sini masih cukup banyak. Terhitung burung air hingga 2000-an ekor dari 11 jenis yang kami identifikasi. Kebetulan ada jenis kedidi sakit yang ditemukan melemah di tepian anakan pohon api-api. Tapi tim pengamat sangat hati-hati dengan kemungkinan penyakit seperti H5N1 yang cukup menakutkan. Kami hanya bisa memotretnya dengan jarak dekat.

Hari terakhir tanggal 21 Januari 2009, kami melangkah ke Kabupaten Serdang Bedagai. Terik matahari tidak menghalangi kami masuk via Kecamatan Perbaungan menyusuri burung air dari sudut pesisir menembus hingga ke Sei Rampah, ibukota Serdang Bedagai. Kami menargetkan untuk melihat daerah berbiak kuntul di salah satu sudut kota Sei Rampah. Sepanjang perjalanan menuju daerah berbiak, kami memanfaatkan momen tersisa untuk mengamati burung lain dan mencari tempat situs baru burung air. Sungguh menakjubkan, masih banyak tempat yang sebenarnya belum terpikirkan dalam benak kami bahwa di tempat lain masih banyak yang mempunyai nilai khas tersendiri. Di salah satu kolam di Perbaungan, kami hampir dua jam bercanda ria dengan dara laut dan kuntul-kuntulan selama berjam-jam di terik matahari. Sampai akhirnya menyerah dan membawa beberapa frame foto yang kami lukis dengan cahaya.

Banyak jenis lain yang bisa kami jumpai di sini. Misalnya burung kekep babi. Benar-benar kami terlalu banyak bertengkar untuk mengidentifikasi burung yang satu ini. Sangat mirip dengan layang-layang. Tetapi mirip juga seperti kelompok starling. Buku panduan lapangan MacKinnon rasanya belum mengucurkan rasa percaya kami akan jenis burung ini. Akhirnya kami sepakat untuk mengirimnya ke milis SBI-Info untuk dikomentari ahli-ahli burung yang ada di Indonesia.

Akhirnya tepat jam lima sore kami sudah tiba di tujuan utama, yakni tempat berbiak. Lokasi ini merupakan rawa yang banyak ditumbuhi vegetasi suku Graminae. Tuhan telah menjelaskan kepada kami bahwa burung yang tersebar pada daerah Serdangbedagai akan berkumpul di sini. Setiap sore dan setiap mau berbiak. Tidak ada metode terbaik selain memanjat sawit untuk menyaksikan gerombolan unggas kuntul-kuntulan ini. Kami dapat menghitung sekitar 600 ekor kuntul kerbau yang didominasi anakan (juvenil). Tempat berbiak ini seperti kuali rawa tempat istiharat burung yang sangat aman. Awalnya kami prediksi burung yang di sini akan berjumlah 1.000 ekor. Prediksi itu langsung meleleh ketika matahari mulai tenggelam. Kuntul (Egretta spp) datang dari empat arah angin dan menyatu di sini. Tugas utama kami adalah identifikasi jenis dan jumlah jenis burung-burung ini. Kami kewalahan. Metode perhitungan blok lantas dibuat untuk mengestimasi burung dengan mobilitas tinggi itu. Terlalu capek kami menghitung burung ini. Hingga kami selesai menghitungnya hingga 7.000 ekor dari jenis kuntul kerbau (90%), selebihnya kuntul kecil, kuntul besar dan cangak merah.

Kami mencatat birdwatching tahun ini sebagai pengamatan yang menyenangkan. Sebagai pemula kami sangat puas menyaksikan burung air lebih dari 10.000 ekor tiga hari itu. Dan kami yakin kegiatan ini merupakan bagian konservasi burung. Dengan menginformasikan burung sebanyak-banyaknya berarti memberikan pengetahuan dasar sebagai awal mencintai burung. Ayo siapa lagi yang mau ikutan tahun depan?

Teks oleh Akhmad Junaedi Siregar & Chairunas Adha Putra, foto oleh Akhmad Junaedi Siregar dan sudah pernah terbit di Warta Tomisi

Migrasi Burung Alami Pergeseran

MEDAN, SENIN - Burung asal Rusia dan Siberia yang bermigrasi ke Australia mulai singgah di pesisir timur Sumatera. Namun burung itu tidak lagi singgah di kawasan yang mengalami kerusakan lingkungan. Mereka yang merupakan burung penyuka pantai basah ini hanya singgah di tempat yang terjaga kelestariannya.

"Mereka yang singgah semakin sedikit di vegetasi bakau. Kawasan hutan bakau banyak mengalami perubahan fungsi. Burung-burung itu berpindah tempat singgah ke tempat yang lebih terjaga kondisinya," tutur Agung Siswoyo pengendali ekosistem hutan Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Sumatera Utara, Senin (13/10) saat ditemui di Medan.

Agung mengatakan kawasan yang mengalami kerusakan itu ada di Suaka Margasatwa Karang Gading Langkat Timur Laut. Di kawasan yang merupakan vegetasi bakau ini sebagian mengalami perubahan fungsi menjadi kawasan pemukiman, tambak ikan, dan perkebunan sawit. Burung-burung itu singgah bergeser ke arah timur di daerah Percut Sei Tuan, Deli Serdang.

Burung migran ini transit di pesisir timur Sumatera untuk mencari makan di pantai basah. Di lumpur itulah mereka menemukan makanannya berupa ikan kecil, udang, dan cacing, tutur pemerhati burung migran Akhmad Junaedi Siregar dari BIOPALAS (lembaga pemerhati lingkungan) Fakultas Matematika Ilmu Pengetahuan Alam (MIPA) Universitas Sumatera Utara (USU).

BIOPALAS, tutur Junaedi, melakukan penelitian sebanyak 20 kali sejak awal 2006. Lokasi pengamatan itu berada di pesisir hutan mangrove Percut (Deli Serdang), pesisir Tanjung Pura (Deli Serdang), Pantai Sialang Buah (Serdang Bedagai), Pantai Baru (Serdang Bedagai), Pantai Mutiara Indah (Serdang Bedagai), dan Pesisir Klambir (Deli Serdang).


Laporan Andy Riza Hidayat/Kompas

Pemangsa Statis di Perut Sicike-cike


Kantung Semar (nepenthes) di tepi danau.

Persiapan kali ini mesti safety. Semuanya harus lebih lengkap, terutama sleeping bag dan jaket tebal. Konsumsi diutamakan dari makanan penghasil energi tinggi. Trauma berat ketika melaksanakan PKL bulan April lalu masih terasa. Kami menggigil menahan suhu 18ยบ di antara hembusan angin yang menusuk sumsum. Semakin malam, tubuh semakin menggigil sebagai reaksi biologis untuk mengatasi dingin. Sistem tubuh kami bertarung hebat, tapi hari itu kami kalah telak, dan Sicike-cike (sebutan penduduk lokal untuk TWA Sicikeh-cikeh) sah jadi pemenangnya.

Akhir Oktober lalu, tujuh judul penelitian mewajibkan para mahasiswa Biologi USU menyerbu keanekaragaman Sicike-cike. Observasi ini merupakan bayaran terhadap keanekaragaman hutan Sicike-cike yang pada tulisan sebelumnya tidak kami buka secara rinci. Salah satunya adalah mengupas jenis kantung semar ( Nepenthes spp.).

Sedikitnya kami menjumpai tiga jenis Nepenthes di hutan dataran tinggi ini. Jenis yang banyak dijumpai adalah Nepenthes tobaica dan Nephentes spectabilis. Sebagian jenis lainnya masih dalam tahap identifikasi.

Nepenthes merupakan salah satu spesies tumbuhan terunik yang dimiliki bumi ini. Kalau otak kita selalu dipenuhi gagasan tentang binatang pemakan tumbuhan, maka kantung semar membalik logika tersebut dengan predikat tumbuhan pemangsa binatang. Dalam jajaran tumbuhan unik, kantung semar dimasukkan dalam kategori carnivorous plant, tumbuhan pemakan daging. Dua kelompok tumbuhan unik lainnya adalah Rafflessia dan Amorphophallus. Ketiga kelompok jenis tanaman terunik ini dapat dijumpai di Sumatera. Bahkan Rafflessia arnoldi tercatat sebagai endemik di Bengkulu.

Kantung semar tersebar luas di daerah tropis. Pulau Borneo tercatat sebagai pusat penyebaran kantung semar dunia terbesar. Dari 84 jenis Nepenthes di dunia, sekitar 32 jenis terdapat di pulau yang diduduki Indonesia, Brunei dan Malaysia tersebut. Pulau Sumatera sendiri menduduki posisi kedua dengan jumlah jenis 29 spesies. Di Indonesia, secara keseluruhan ditemukan sekitar 64 jenis Nephentes.

Penyebutan kantung semar di Sumatera berbeda-beda di setiap daerah di Sumatera. Di Tapanuli sering disebut tahul-tahul, di Riau disebut periuk monyet, di Jambi disebut kantung beruk, di Bangka disebut ketakung, dan di suku Dayak disebut ketupat napu.

Di antara beberapa jenis tumbuhan pemakan hewan, kantung semar berbeda dengan sesama carnivorous plant, yakni tidak melakukan gerakan saat mengadakan penangkapan mangsa. Nepenthes hanya membentuk kantung sendiri yang dirancang sedemikian rupa untuk menjebak serangga. Dengan cairan yang sudah mengandung enzim pencernaan ( nepenthesin) serangga yang mudah tenggelam karena tekanan permukaan cairan rendah lantas dicerna. Tubuh serangga akan diuraikan menjadi senyawa sederhana yang bisa menjadi nutrisi tambahan untuk pertumbuhannya.

Di daerahnya yang memang termarjinalkan, tumbuhan suku Nepenthaceae ini menciptakan alat bantu penambah nutrisi dari modifikasi daunnya pada bagian ujung daun. Kantung semar biasanya hadir di daerah yang miskin hara di mana jenis tumbuhan lain tidak menyukai lokasi tersebut. Selain itu Nepenthes adalah tanaman yang memiliki persebaran yang sangat kecil sehingga banyak di antaranya yang terdaftar sebagai tanaman endemik pada daerah tertentu.

Ini mungkin kebijakan Tuhan. Keindahan alam biasanya diposisikan tersembunyi. Begitu juga panorama Nepenthes di lokasi hutan yang terletak di Dusun Pancur Nauli, Desa Lae Hole II, Kecamatan Parbuluan, Dairi. Untuk menyaksikan langsung kawanan pemangsa indah tersebut, Anda sebaiknya adalah pecinta alam dan pecinta Tuhan. Pengunjung mesti rela masuk hutan sejauh lebih kurang 1 km dari pintu rimba. Tentunya harus dapat izin dulu dari Pengaman Hutan Swakarsa (Pamhut Swakarsa) setempat. Khusus peneliti atau kegiatan yang bersifat observasi, harus terlebih dahulu mengurus Surat Izin Masuk Kawasan Konservasi (SIMAKSI) ke BKSDA Sumut.

Nah, setelah retribusi dibayar, barulah kita siap-siap treking singkat sambil menghirup udara yang terlepas dari stomata pohon haminjon (kemenyan), sampinur bunga, meang, monis-monis, siringgas, sianturi, simarpinasa, simarmunte, turi-turi, hayu andolok, hotting, sepang-sepang dan hayu appea yang mengiringi perjalanan Anda ke Danau I. Kayu-kayu dataran tinggi ini nantinya semakin mengerdil sewaktu Anda mulai sampai ke tujuan. Ini pertanda alami bahwa lokasi tersebut mulai terpinggirkan oleh alam dan kondisi ekstrem membuat pohon-pohon di sini kurus lantaran kekurangan nutrisi. Tapi kondisi seperti inilah yang membuat pemanjat seperti Nepenthes hadir sempurna pada pH rendah.

Danau I adalah habitat yang baik bagi Nepenthes dan anggrek dibanding Danau II dan Danau III yang jaraknya tidak jauh beda. Sebagian peneliti sepakat lokasi ini sebagai pusat anggrek Sumatera Utara. Di bibir danau yang kedalaman totalnya 5,5 meter ini, akan terlihat Nepenthes muncul mengekspansi air berwarna kemerahan. Dan kalau dewi fortuna bersama Anda, anggrek mungil terunik, Corybas, dapat disaksikan. Anggrek ini hanya memiliki satu daun, satu batang dan satu bunga.

Pos jaga Polisi Hutan (Polhut) di tepi danau adalah tempat peristirahatan satu-satunya usai keliling danau. Sejenak, hembusan kuat angin dataran tinggi bertekanan rendah bisa membawa imajinasi Anda untuk membandingkan kantung semar alami dan kantung semar tangkaran yang banyak diperjualbelikan di kota. Penggemar dan hobiis kantung semar memang membludak beberapa tahun belakangan ini. Keunikan kantung semar dan sifatnya yang dapat mereduksi serangga di rumah dianggap dapat menguntungkan, sehingga vegetasi endemisitas tinggi ini sering menjadi pilihan tanaman hias.

Kondisi pasar yang baik untuk Nephentes sebaliknya bisa berdampak buruk untuk vegetasi liarnya. Permintaan tinggi biasanya berbanding lurus dengan eksploitasi alam. Perdagangan jenis kantung semar liar sangat sulit diberantas karena ada ”pengoposan” antara jenis tangkaran dan liar. Penjualan hasil tangkaran generasi kedua diperbolehkan dalam penangkaran, tetapi belum ada penanda yang signifikan mana yang hasil tangkaran dan mana hasil eksploitasi liar. Semua jenis kantung semar liar adalah dilindungi.

Wah, tiga hari di perut hutan tropis bersuhu dingin seperti ”Finlandia” ini bagi kami adalah kerja keras yang menyenangkan. Suhu siang hari terlupa karena suhu dingin jatuh bersama keringat ketika menarik tali transek sejauh 300 meter yang ditarik sejajar garis lintang bumi. Tapi, malamnya kami tetap bertarung lagi dengan suhu dan mengadu lagi pada sleeping bag.

Teks dan foto oleh
Akhmad Junaedi Siregar
Anggota Biologi Pecinta Alam Dan Studi Lingkungan Hidup (BIOPALAS) FMIPA USU.
Sumber : Majalah Inside Sumatera

Kirim ke teman