Rabu, 05 September 2012

Titipan Terbesar Argus Panoptes


Teks dan foto : Akhmad Junaedi Siregar


Ceritanya berasal dari Barat. Adalah Argus Panoptes, si raksasa pengawal andalan Hera, diberi tugas berat menjaga dan memastikan keberadaan sanderaan mereka, Lo. Sebelumnya Argus memiliki reputasi baik di mata Hera karena mampu menghabisi si wanita ular, Ekhidna musuh bebuyutan yang sulit ditaklukkan. Argus sendiri digambarkan dalam mitologi Yunani sebagai gigan bermata seratus.

Keistimewaan Argus sendiri bisa mengamati sekelilingnya meskipun dalam keadaan tertidur, karena beberapa matanya masih saja terjaga. Meskipun begitu, tentu saja menjaga Lo dari penyelamatan Zeus adalah tugas berat.

Zeus si bapaknya dewa-dewa pun memikirkan cara lain untuk merebut Lo kembali yang sudah berubah menjadi seekor sapi. Untuk melicinkan penyalamatan, Zeus minta bantuan kepada putranya Hermes. Hermes menyamar sebagai  gembala ternak sambil memainkan musik. Argus yang terbuai alunan irama itu, tertidur pulas dan tak menyisakan mata terjaga. Dan seketika, Hermes berhasil menghabisi Argus dalam keadaan tertidur dan membawa Lo kembali dengan selamat.

Hera berang mendapati Argus dalam keadaan tidak bernyawa di dalam tahanan. Anak buahnya itu sudah tidak bernyawa. Mata Argus dipasangkannya di ekor burung kesayangannya, merak. Dengan begitu, Argus tetap akan dikenangnya selama merak kesayangannya tetap terpelihara.

Mitologi Yunani itu menginspirasi sebuah nama burung di Sumatera. Oleh Carolus Linnaeus, di tahun 1766, ia menyumbangkan semua nama internasional bagi burung fenomenal untuk masyarakat di Provinsi Sumatera Barat. Burung itu adalah kuau raja (Argusianus argus). Kuau raja merupakan burung terbesar di antara jenis-jenis kuau yang ada di Sumatera. Dalam bahasa Inggris dikenal dengan nama great argus.

Seharusnya, nama jenis argus mestilah untuk burung merak, bukan burung kuau seperti dalam mitologi Yunani. Di Indonesia sendiri hanya merak jawa satu-satunya jenis yang dimiliki, selain yang ditemukan di India dan China. Namun karena kemiripan antara merak dan kuau, akhirnya secara kebetulan si pemberi nama dari Swedia itu menyematkan nama itu untuk kuau. Alasannya cukup kuat karena kuau raja juga memiliki ekor yang indah dan bermata layaknya merak. Keduanya pun berasal dari suku yang sama, yakni Phasianidae.

Pesona bulu merak juga sangat kental di Ponorogo, Jawa Timur. Seni tari reog adalah perpaduan dua satwa, barongan (harimau) dan dhadak merak (bulu merak). Keperkasaan harimau dan kemolekan bulu merak menginspirasi si pencipta seni, dan lahirlah reog. Bulu indah merak cukup kental dengan performa layaknya tontonan sebuah karya seni, seperti halnya merak yang memiliki percaya diri kuat untuk tampil memukau.

Oleh karena itu, suatu mitos masyarakat Ponorogo, menemukan merak di hutan mengindikasikan kehadiran harimau. Namun, harimau jawa saat ini telah punah. Kalau memungkinkan, mitos ini dinilai lebih lengkap kalau digeser ke Sumatera. Kuau (merak-nya Sumatera) relevan dengan keberadaan harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae), satu-satunya harimau tersisa setelah punahnya harimau jawa dan bali.

Menyeberang ke Kalimantan, saudara dekat Pulau Sumatera versi biogeografi, bulu kuau adalah sesuatu yang sakral buat suku Dayak Kanayatn. Mahkota di kepala mereka terdiri atas bulu-bulu kuau dan bulu enggang. Bulu itu memiliki makna tertentu yang melekat kuat dalam ikatan adat. Ikat kepala itu mereka sebut tangkulas. Sebegitu dekatnya mereka dengan kuau sehingga bulu itu menghiasi kepala mereka.

Sifat kuau raja persis seperti merak yang indah. Pada masa kawin, jantan memamerkan bulu indahnya ke si betina pasangannya. Anto, salah satu penduduk di Mandailing Natal (Madina), Sumatera Utara, yang meminati kuau, menjelaskan bahwa kuau yang mereka kenal dengan nama "uo" memiliki sifat unik. Namanya mengikut dari suaranya seperti bunyi bervokal ”uooo” dengan lengkingan keras.

Di dasar hutan, kuau sering menciptakan lingkaran lapangan kawin berdiameter lebih kurang 2 meter. Serasah daun, ranting, batu-batu dibersihkan. Jantan akan menggoda dan menari-nari di lingkaran untuk menyenangkan pasangannya. Masyarakat Madina sendiri yang doyan dengan daging kuau, punya metode sendiri untuk menagkap satwa ini.

Peralatan buru yang dipakai cukup sederhana, namun dibutuhkan kesabaran yang kuat. Bambu ditajamkan membentuk sembilu. Di tengah lingkaran kawin itu, sembilu ditancapkan. Kemudian arena ditinggalkan. Pemburu menepi dalam jarak pantau. Merasa aman, sepasang kuau akan kembali mendatangi lingkaran. Keberadaan sembilu itu dianggap sampah pengganggu romantika. Pejantan kemudian berusaha membersihkan lapangan kepunyaannya. Lehernya dililitkan dan mencabut sembilu. Saat itulah pemburu keluar dari sarangnya dan kuau jantan pun tertangkap.

Habitat yang terkenal paling melimpah untuk kuau raja berada di hutan-hutan Sumatera Barat. Satwa teresterial itu kemudian dinobatkan sebagai satwa maskot bagi nagari Minang, sejajar dengan flora maskotnya, pohon andalas. Dengan begitu, PT Pos Indonesia pun otomatis merasa berkewajiban untuk mencetak gambar kuau raja dalam beberapa edisi perangkonya. Masyarakat Minang lebih mengenalnya dengan sebutan "ruwai".

Mata Argus pada kuau raja tidak hanya sebagai aksesoris. Akhir-akhir ini, berdasarkan penelitian, kuau dipertimbangkan sebagai biologi pendeteksi gempa. Kelompok Argusianus memang dikenal pemalu dan jarang terlihat langsung di hutan, hanya suaranya yang terdengar jelas dari kejauhan. Fenomena itu ternyata karena kejelian pendengaran dan kecepatan untuk menghindari sumber suara berbahaya.

Di dalam kandang, kuau raja bisa digunakan sebagai alat early warning system. Satwa ini bahkan dapat mendeteksi sehari atau dua hari sebelum gempa terjadi. Ini dimungkinkan karena sebelum gempa berbahaya datang, biasanya gempa kecil mengawalinya. Di sinilah peran pendengaran kuau. Instingnya membuatnya bertingkah tak karuan.

Itulah insting peninggalan si Argus Panoptes!

Sumber : Sumatera & Beyond Magazine










Tidak ada komentar:

Posting Komentar