Jumat, 04 Maret 2011

Rasa Penasaran Terhadap Amfibi itu Potensi!














Tidaklah sama halnya pandangan antara herpetolog dengan masyarakat awam dalam memandang katak. Karena mungkin telah terbiasa, herpetolog dan peneliti katak atau pun penghobi katak tentu sudah terbiasa melihat katak. Mungkin bagi peneliti, penemuan-penemuan baru tentang kataklah yang paling menarik seperti dalam hal record baru atau spesies baru katak. Namun bagi pemula, atau masyarakat awam, berjumpa katak di luar katak-katak umum yang biasa berasosiasi di pemukiman adalah sesuatu yang istimewa.


Satu hal yang tidak bisa dipungkiri adalah anggapan masyarakat bahwa secara umum katak merupakan hewan berkaki empat yang menjijikkan karena tonjolan badannya yang kasar (katak puru) dan kulit licin yang berlendir bagi sebagian katak jenis lain. Anggapan itu memang sangat mendasar. Persepsi itu dibungkus oleh pengetahuan mengenai katak yang terbilang dangkal. Pepatah tak kenal maka tak sayang mungkin sangat relevan dalam hal ini.


Banyak contoh yang mungkin lebih baik, namun saya punya contoh kecil dari Universitas Sumatera Utara (USU), Medan. Semenjak saya duduk di awal perkuliahan semester 2, pengenalan dunia herpetologi (amfibi dan reptil) pertama kalinya ketika diajak untuk survei (praktikum lapangan) ke Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) yang diwajibkan pada mahasiswa jurusan Biologi USU. Layaknya pemula, di pikiran ini kisut anggapan kenapa harus melihat katak?


Awalnya menurut saya, katak itu hanya sebatas jenis Bufo melanostictus atau Fejervarya limnocharis. Ketika mulai memasuki hutan pinggiran TNGL, barulah saya dan rekan lainnya sadar mengapa TNGL dikategorikan sebagai warisan dunia. Di tepian sungai, pada malam yang gelap sekali, senter-senter murah kami, sedikit banyaknya memergoki katak-katak yang lain dari biasanya. Ada katak berwarna seperti tentara, loreng-loreng kurus, puru besar, ada juga jenis sangat liar karena apabila kita membuat suara sedikit saja, kataknya sudah menyelam ke dalam air, tidak sedikit di antara katak yang kami lihat sedang memanjat. Tidak seperti di Jawa yang sangat kami cemburui di Sumatera, buku identifikasi di sana jauh lebih mudah diperoleh. Kami banyak tersandung jika sudah berurusan dengan identifikasi, salah satu bagian proses penelitian yang harus dilalui.


Sebelum buku Panduan Lapangan Amfibi Kawasan Ekosistem terbit karangan Mistar (2003), saya banyak mendengar lelucon senior kami ketika mengidentifikasi katak di lapangan pasalnya buku karangan luar negeri jarang yang cocok dengan jenis-jenis amfibi di Sumatera. Mereka mengidentifikasi tidak berdasarkan buku, justru ilmu turun menurun yang diajarkan senior mereka juga. Waktu itu, katak-katak yang berkulit kasar (puru) dimasukkan ke dalam marga Bufo, katak-katak yang menempel di pohon digolongkan ke marga Rhacophorus, katak bancet yang bersuara keras dimasukkan ke marga Hyla dan katak biasa yang berkulit licin semuanya dikategorikan Rana tanpa terkecuali. Maka genaplah hanya ada empat marga katak di Sumatera yang biasanya mereka temukan. Tentu saja kita semua sepakat bahwa itu keliru.


Di lapangan, frogging kami lakukan tidak kurang seperti berlomba, biasanya kami lebih menyukai jenis yang unik ataupun berukuran besar. Rana hosii betina menjadi hiburan kami, karena ukurannya relatif besar. Menemukan katak bertanduk (Megophrys nasuta) tentu merupakan fenomena di luar dugaan kami. Kamera poket digital 5 megapixel yang termasuk langka pada masa itu digunakan membekukan macam jenis katak ini berulang-ulang. Bagi saya sendiri, album khusus jenis-jenis katak sudah ada kusediakan.


Tidak berselang lama (tahun 2007), salah satu senior kami yang tertarik memutuskan meneliti keanekaragaman amfibi di Suaka Margasatwa Siranggas di Pakpak Bharat, Sumut. Beliau menemukan 17 jenis amfibi dari bangsa Anura dan Apoda. Ichthyophis sp merupakan salah satu jenis yang didapatkan. Penemuan ini selalu diulang-ulang dosen kami saat mengikuti perkuliahan tentang amfibi. Dosen pembimbing ini menyimpan spesimen katak sesilia itu dalam ruangan kerjanya.


Bagi angkatan dua tahun di bawahnya, saya salah satunya, frogging menjadi kegiatan ilmiah yang selalu ditunggu-tunggu. Setiap kegiatan itu diadakan, saya dan teman-teman hampir tidak pernah absen. Dengan peralatan seadanya, jarang yang menggunakan headlamp. Namun setiap jenis penemuan baru selalu kami catat, walaupun sebenarnya standar pengukuran suatu penemuan terhadap katak di lapangan masih jauh dari harapan. Puncak penilaian kami akan keberhasilan frogging terutama jika sudah berjumpa dengan katak pohon (Rhacophoridae), terlebih menemukan sesilia (lindi-lindi). Akhir-akhir tahun 2010 ini, beberapa di antara kami sudah memiliki headlamp masing-masing. Saya sendiri akhirnya kecantol untuk penelitian katak berjudul Jenis dan Komposisi Komunitas Amfibi di Taman Wisata Alam dan Cagar Alam Sibolangit (2009).


Terlepas dari perjalanan itu, saya sendiri melihat rasa keingintahuan yang sangat besar di antara kami terhadap amfibi. Begitu juga dengan masyarakat awam, setiap foto yang kutunjukkan selama perjalanan kami dahulu selalu ditanggapi keheranan. Sebagian besar dari mereka tidak meyakini adanya katak bertanduk, padahal katak tersebut tidaklah jauh habitatnya dari Kota Medan, domisili mereka. Mungkin hal ini karena kecenderungan relung (niche) antara manusia dan katak bertolak belakang di mana manusia hidup siang hari sedangkan katak aktifnya pada malam hari.


Saya sendiri belum pernah melihat keheranan masal terhadap amfibi di Medan selayaknya teman-teman dekat yang kutunjukkan fotonya tadi. Namun, terhadap lima jenis ular viper dan sanca yang dipamerkan Hetts Bio Lestari, satu-satunya penangkaran ular di Medan diserbu pengunjung pameran. Kontan, stan tersebut menjadi stan paling ramai didatangi yang diapresiasi menjadi stan terbaik oleh panitia. Saya melihat bahwa potensi pemanfaatan amfibi sangat besar. Di samping katak yang biasanya dijadikan konsumsi kemungkinan potensi pendidikan dan wisatanya cukup tinggi. Suatu hal positif jika pembuatan penangkaran atau museum herpetofauna di Medan. Mungkin masyarakat akan tinggi mengapresiasinya. Mereka akan datang karena penasaran, setelah itu mereka akan mengenal amfibi. Jika sudah mengenal, mereka pasti akan mencintainya seperti kata pepatah. Mungkin inilah salah satu ekspektasi konservasi.■


Teks dan foto oleh Akhmad Junaedi Siregar

Sumber: Warta Herpetofauna

Tidak ada komentar:

Posting Komentar