Jumat, 04 Maret 2011

Sebuah Ramalan Ibis Roko-roko di Sumatera




Kelangkaan akan dipandang berbeda oleh dua subyek. Termasuk langkanya barang tertentu sehingga dianggap antik, kemudian dipandang istimewa. Sesuatunya materi yang sulit didapati akhirnya diminati, bahkan dipuja-puja. Tidak kurang kelangkaan satwa. Bagi orang yang banyak berkecimpung dalam konservasi, kelangkaan satwa dianggap petaka. Tapi bagi hobiis atau pelaku wisata, kelangkaan satwa tertentu menjadi daya pikat dan daya jual penting. Secara hakiki, sesuatu yang melimpah, relatif dihargai murah oleh manusia, mengekori hukum suplay and demand, begitu juga sebaliknya. Uang akan dikontrol peredarannya di masyarakat untuk menjaga nilai tukarnya.

Nah, mari memandang sedikit kekayaan fauna yang kita miliki di Pulau Sumatera. Kelangkaan fauna mungkin akan menjadi pertimbangan di masa depan dan menjadi bagian hidup yang tak terpisahkan. Di alam bebas Sumatera ada sekian jenis fauna yang terbatas keberadaan liarnya. Beberapa di antaranya menjadi primadona sebagai piaraan. Sebagian dilindungi, sehingga hobiis kadang harus merasa harus memiliki walaupun secara tidak sah. Banyaknya satwa langka berbanding lurus dengan jumlah jenis endemik di pulau ini, juga memicu rasa ketertarikan kepada satwa misalnya harimau sumatera (Panhtera tigris sumatrae), gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus), orangutan sumatera (Pongo abelii) dan badak sumatera (Dicecorhinus sumatrensis). Tidak pun dapat satwa hidupnya, bagian-bagian satwa yang mati tidak kalah menarik untuk dikoleksi. Tipe hobiis tadi tentu tidak dianjurkan.

Nah, bagaimana kalau Anda diajak mengagumi kelangkaan satwa tanpa harus memiliki bagiannya sedikit pun, seperti prinsip berwisata berkelanjutan. Mengamati satwa langka di alam bebas tentu tidak semurah berwisata yang sudah dipaketkan dan tinggal pilih. Mengamati satwa liar di alam hampir sama dengan memancing ikan di alam, hasilnya tidak pasti dan tidak terukur. Tentu ini adalah sebuah tantangan yang menarik.

Sebut saja ibis roko-roko (Plegadis falcinellus) adalah daftar jenis burung terlangka di Sumatera. Hingga sekarang, keberadaan unggas ini di Sumatera masih diragukan oleh dunia. Namun tidak di utara Pulau Jawa karena jenis ini hingga sekarang masih sering teramati. Di Pulau Borneo yang notabene-nya di masa silam bergabung dengan Pulau Sumatera, catatan terakhir pakar burung bahwa jenis ini tahun 1851 terpantau sekali di Kalimantan Selatan.

Di Pulau Sumatera, keluarga ibis diketahui ada dua jenis yakni ibis cucuk besi (Threskiornis melanocephalus) dan ibis roko-roko. Sunda Besar diketahui didiami lima jenis ibis. Suku ibis-ibisan (Threskiornithidae) ini lebih mudah dikenali sebagai bangau karena bentuknya sangat mirip bangau-bangauan (Ciconiidae). Hanya saja ibis berukuran lebih kecil dan warnanya lebih gelap hingga hitam sama sekali. Cara makan juga dinilai unik karena untuk mendapatkan mangsa cukup dengan mendeteksi sentuhan ketimbang mengandalkan penglihatan mata.

Sejauh ini, catatan terkini dan pertama untuk jumlah individu ibis roko-roko di Sumatera terhitung sebanyak empat ekor. Belum ada laporan pengamat burung perihal pertemuan di setiap propinsi di pulau ini. Teman-teman dari pecinta alam Biopalas Dept Biologi FMIPA USU dan Sumatra Rainforest Institute beruntung mencatat empat ekor dari dua kali perjumpaan dan dari berpuluh kali pengamatan dalam kurun dua bulan terakhir. Situs penemuan ini masih berasal dari pesisir timur Sumatera, tepatnya di pesisir Percut Sei Tuan, Deli Serdang, Sumatera Utara.

Tidak halnya dengan penduduk di sekitar lokasi tempat ibis roko-roko meluangkan waktu beristirahat. Harus diakui memang, masyarakat umum selalu selangkah di depan daripada pengamat yang sebagian hidupnya mengkhususkan mengamati keanekaragaman makhluk. Sebagian dari mereka cukup mengenal ibis ini dan sebagian lagi bahkan menjadikan tingkah lakunya sebagai indikator meramal cuaca. Konon, jika unggas hitam ini terbang berputar-putar hingga beberapa jam di daerah peristirahatannya, itu pertanda baik bagi petani yakni hujan akan segera turun. Burung air lainnya yang biasanya bersosial dengan ibis roko-roko sepintas tidak se-khas roko-roko. Terlepas dari barometer perubahan cuaca, koloni ibis roko-roko dan sepasukan burung air lainnya justru berkhasiat lain. Salah satu petambak ikan di sana bersedia memberi ruang dua per tiga kolamnya ikannya menjadi tempat peristirahatan burung air. Untungnya, pakan ikan tidak lagi mesti pusing dipikirkan karena kotoran burung menjadi suplai nutrisi lebih dari cukup bagi ikan jenis payau.

Anda pasti puas jika menjumpai ibis berukuran 60 cm itu. Terlebih lagi spesies dilindungi ini tidak ada dikoleksi kebun binatang sepanjang Sumatera. Jadi tidak ada jalan lain kecuali turun ke alam. Menjumpai ibis roko-roko jauh lebih sulit ketimbang harimau sumatera. Kasarnya, sekitar 4 berbanding 400, sesuai jumlah individunya di Sumatera yang diperkirakan pakar saat ini, tentunya dengan perhitungan konservasi (perkiraan paling sedikit). Kalau Anda memahami, nilai perjumpaan Anda setara dengan melihat logam mulia.

Untuk mendokumentasikannya relatif sulit. Di samping langka, dilindungi, pemalu dan terbang kencang, warnanya juga hitam menyulitkan kamera membaca cahaya. Jika pemotretan dilakukan ke objek bergerak itu, paling kuat terbekukan menjadi siluet. Jika Anda mencoba kamera yang biasa dipakai fotografer bola, tentu hasilnya berbeda, itu bergantung Anda! Dan jika Anda segila itu, pengamat burung akan menuliskan kisah Anda dan mungkin akan melegenda di masa depan.


Oleh Akhmad Junaedi Siregar,
foto oleh Chairunas Adha Putra
(Mahasiswa Pengamat Burung)
Sumber: Majalah Inside Sumatera

2 komentar:

  1. anggota meninting juga,,,, slam knal...
    sma2 beljar tulis artikel populer.... hehehe
    mampir juga..
    http://faradlinam.blogspot.com

    BalasHapus
  2. Lam kenal juga, terima kasih atas komentarnya. Aku bakalan mampir di blogmu ....

    BalasHapus